Liputan6.com, Caracas - Penetapan sanksi ekonomi oleh pemerintahan Presiden Donald Trump kepada Venezuela, ditolak keras oleh Presiden Nicolás Maduro.
Sanksi ekonomi tersebut dianggap sepihak melanggar Piagam PBB, dan menafikan prinsip-prinsip paling dasar dalam penerapan hukum internasional yang mengatur hubungan antar-negara berdaulat. Demikian mengutip siaran pers resmi dari Kedutaan Besar Republik Bolivarian Venezuela di Jakarta, Selasa (20/3/2018).
Baca Juga
Advertisement
Pemerintah Venezuela menuding penetapan sanksi ekonomi tersebut sebagai bentuk imperialisme baru, yang kian menyulitkan nasib rakyat Venezuela.
Hal itu, menurut Presiden Maduro, tersirat nyata dari tindakan tanpa alasan dalam memblokade perdagangan, menghancurkan kondisi keuangan, serta memboikot dan mengacaukan ekonomi negara yang berinukota di Caracas itu.
"Dengan demikian, sanksi ekonomi mematahkan kehendak rakyat Venezuela untuk menikmati kebebasan, kedamaian dan harapan kemakmuran," tegas Presiden Maduro.
Simak video terkait presiden Venezuela berikut:
Dianggap Bentuk Kejahatan terhadap Kemanusiaan
Sementara itu, menurut salah seorang staf khusus PBB, Alfred de Zayas, penetapan sanksi ekonomi oleh Amerika Serikat (AS) kepada Venezuela adalah bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal itu dapat diajukan ke Pengadilan Pidana Internasional sebagai pelanggaran terhadap Psal 7 Statuta Roma.
Adapun saat ini, pemerintah Venezuela telah mengambil sebuah lompatan berupa mekanisme ekonomi baru berjuluk El Petro, yang didukung lebih dari lima miliar barel cadangan minyak bumi.
Rencana pembangunan ekonomi ini diharapkan mampu menguatkan nilai mata uang bolivar terhadap dolar AS, dan membuka pintu terhadap realisasi kemakmuran bagi seluruh rakyat Venezuela.
Selain itu, pemerintah Venezuela juga menegaskan akan terus mempromosikan teknologi Blockchain, guna menjadikan petro sebagai mata uang kripto (mata uang elektronik) paling solid dan terpercaya di dunia.
Advertisement