Jurus BPS dan Bulog Cegah Kisruh Data Produksi Beras di RI

BPS menggunakan peta dan teknologi terkini dalam menghitung dan menyajikan data produksi beras nasional.

oleh Bawono Yadika diperbarui 20 Mar 2018, 13:15 WIB
Pekerja tengah memindahkan beras di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, Jumat (18/9/2015). Harga beras mengalami kenaikan hingga 14 persen dari harga tahun lalu yang disebabkan oleh melonjaknya biaya produksi mencapai 20 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, pemerintah akan menggunakan peta dan teknologi terkini dalam menyajikan data produksi beras nasional. Dengan demikian, diharapkan data produksi beras akan semakin efisien dan akurat.

"BPS sekarang sedang bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam meningkatkan akurasi data produksi beras. Kita harus menggunakan teknologi terkini dan banyak peta," tutur Kepala BPS Suhariyanto di kantor Perum Bulog, Jakarta, Selasa (20/3/2018).

Untuk itu, BPS dan Perum Bulog menandatangani nota kesepahaman mengenai penyediaan, pemanfaatan, serta pengembangan data dan informasi statistik di bidang pangan.

Suhariyanto lebih jauh mengatakan, BPS menggunakan banyak peta dasar seperti dari Badan Informasi Geospasial (BIG), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).

"Ini semua di overlay. Jadi kita menggunakan sebuah metodologi Kerangka Sample Area (KSA)," tambah dia.

Dia menambahkan, peta dasar ini membantu BPS dan Bulog untuk memantau data produksi beras secara bertahap dalam periode enam bulan atau satu tahun sekali (per sub-round).

"Setiap bulan kita mengambil sekitar 192 ribu titik pengamatan. Misalnya kordinatnya dimatikan, petugas harus datang ke sana, bawa ponselnya, harus memotret. Apakah sawah tersebut sedang panen, apakah sedang puso (tidak mengeluarkan hasil), apakah sedang dalam vegetatif I, dan seterusnya," terangnya.

"Jadi itu sedang dikerjakan BPS dari Januari, tidak perlu bulanan ya kita rilisnya, per sub-round nanti kita rilis, yaitu enam bulan sampai satu tahun sekali" ungkapnya.

Untuk target pengumuman, Suhariyanto menyebut akan merilis data ini paling lambat Agustus 2018 untuk mencegah perbedaan data yang terjadi kembali ke depan.

"Kita harapkan paling lambat Agustus lah kita merilis data tersebut. Tapi mungkin tidak perlu bulanan yah, per sub-round nanti akan kita rilis data produksi beras. Yang penting metodologi baru ini semuanya bisa mengakses, transparan, dan tidak ada dispute data lagi," tandasnya.


Data Beras Mendag dan Mentan Beda, Ini Kata BPS

Pekerja tengah memindahkan beras di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, Jumat (18/9/2015). Harga beras mengalami kenaikan hingga 14 persen dari harga tahun lalu yang disebabkan oleh melonjaknya biaya produksi mencapai 20 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kebijakan impor beras khusus sebanyak 500 ribu ton membuat publik bertanya-tanya. Sebab sebelumnya, Kementerian Pertanian (Kementan) menjamin stok beras cukup untuk memenuhi kebutuhan sehingga tidak perlu impor, namun Kementerian Perdagangan (Kemendag) justru mengambil kebijakan berbeda, yakni impor.  

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), Yunita Rusanti menegaskan, data produksi beras merupakan wewenang dari Kementerian Pertanian (Kementan). Sementara BPS tidak merilisnya sehingga tidak dapat memastikan apakah data Kemendag maupun Kementan yang benar atau salah.

"BPS tidak mengeluarkan data produksi beras. Kita kembalikan ke Mentan karena itu wewenangnya. Sampai sekarang kita belum mengeluarkan lagi data (beras)," tegas dia di kantornya, Jakarta, pada 15 Januari 2018. 

Yunita mengaku, pemerintah khususnya BPS sedang membenahi atau melakukan perbaikan data produksi padi, gabah maupun beras, sehingga ke depan akan menggunakan satu basis data sebagai acuan dalam pengambilan kebijakan pemerintah.

"Kita masih dalam taraf kerangka sampel area. Kita sedang benahi, kita ingin datanya lebih akurat," cetusnya.

Sementara itu, Direktur Statistik Distribusi BPS, Anggoro Dwitjahyono menilai perbedaan data produksi beras terjadi karena Kementan melihat dari sisi produksinya, sementara Kemendag memotret dari kenaikan harga beras yang terjadi di pasar.

"Kementan melihat dari produksinya pada posisi tertentu, sedangkan Kemendag melihat dari harganya. Harga mulai merangkak tinggi, maka jadi warning yang menggambarkan terganggunya suplai dan demand di sana (pasar)," dia menjelaskan.

Senada, Anggoro menegaskan bahwa BPS tengah memperbaiki data produksi padi, beras atau gabah. "Kita sedang melakukan perbaikan. Nanti akan ada rilis. Sekarang ini kan belum ada, tapi nanti akan ada," tukasnya.     

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya