BPK: Freeport Belum Tindak Lanjuti Hasil Audit Kerusakan Lingkungan

PT Freeport Indonesia belum menindaklanjuti hasil audit BPK terkait penggunaan hutan dan pembuangan limbah

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 20 Mar 2018, 16:29 WIB
Perubahan Status Kontrak Freeport Indonesia

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan, PT Freeport Indonesia belum menindaklanjuti hasil audit BPK terkait penggunaan hutan dan pembuangan limbah atas kegiatan pertambangan yang dilakukan perusahaan tersebut.

Anggota BPK, Rizal Djalil‎ mengatakan sejak 333 hari hasil audit dikeluarkan dan sampaikan ke DPR maupun kementerian terkait, belum ada iktikad dari Freeport Indonesia untuk menindaklanjuti hasil audit tersebut. 

"Terkait dengan Freeport 333 hari sejak BPK mem-publish laporan ini ke publik, yang sebelumnya sudah kami sampaikan ke DPR pada kementerian terkait untuk mengingatkan kembali latarbelakang pemeriksaan," kata Rizal seperti dikutip di Jakarta, Selasa (20/3/2018).

Dalam hasil audit yang termaktub dalam Ihtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I/2017 disebutkan, pengelolaan pertambangan mineral pada Freeport Indonesia belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk menjamin pencapaian prinsip pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.

"Jadi semua peraturan terkait regulasi dengan hutan suaka alam dan sebagainya, tidak ada suaka alam yang dikecualikan semua harus menaati peraturan‎," ucap Rizal.

‎Rizal mengungkapkan, dalam hasil audit tersebut ada dua hal yang dilanggar oleh PT Freeport Indonesia. Pertama adalah penggunaan hutan lindung dan kedua, pengelolaan limbah yang tidak sesuai ketentuan. Namun, sampai saat ini, Freeport Indonesia belum menanggapi hal tersebut.

"Dari pemeriksaan BPK yang sangat komprehensif ini tentang lingkungan ada dua hal. Pertama penggunaan hutan lindung melanggar hukum, dan kedua, pengolahan limbah oleh Freeport Indonesia tidak sesuai aturan," tandasnya.


3 Masalah Ketenagakerjaan di Freeport Indonesia

Freeport Indonesia (AFP Photo)

Sebanyak 700 pekerja PT Freeport Indonesia tengah menunggu kejelasan nasibnya setelah dirumahkan dan di-PHK. Hal tersebut merupakan temuan dari lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Lokataru.

Pendiri Lokataru, Haris Azhar mengatakan, ada tiga hal yang menjadi pemicu masalah ketenagakerjaan di perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut. Pertama, adanya konflik kepentingan di internal perusahaan.

"Ini sepertinya ada perang pengaruh dalam internal Freeport. Ada orang yang ingin menunjukkan bahwa siapa yang mengontrol karyawan. Ini sedang ada pertarungan menuju FI 1 (Jabatan Direktur Utama Freeport Indonesia)," ujar dia di Jakarta, Minggu (11/3/2018).

Kedua, Freeport beralasan keputusan untuk merumahkan dan memberhentikan pekerjanya lantaran dipicu oleh kebijakan pemerintah soal ekspor konsentrat. Keputusan tersebut dianggap sebagai senjata Freeport untuk melawan kebijakan pemerintah Indonesia.

"Kedua, juga ada upaya tekanan dari Freeport kepada pemerintah Indonesia, karena masa jangka waktu untuk mengikuti UU sudah lewat. UU minerba kan disahkan 2009, dikasih jangka waktu beberapa tahun perusahaan minerba untuk menyesuaikan diri," kata dia.

"PT Freeport ini kan rezim kontrak karya, UU Minerba ini berubah jadi rezim izin. Freeport tidak mau rezim izin, mau tetap kontrak karya. Kalau tetap dipaksa, nih pecat warga negara kamu," tambahnya.

Ketiga, Haris melihat manajemen Freeport juga ingin menyingkirkan keberadaan serikat pekerja di perusahaannya. Hal ini karena keberadaan serikat pekerja dinilai menjadi hambatan bagi perusahaan.

"Mereka lagi mau menyingkirkan serikat pekerja, karena dalam kebijakan furlough (merumahkan pekerja), hanya mengena ke yang merupakan aktivis pekerja. Kenapa mau dihilangkan? Karena keberhasilan dari serikat pekerja seperti pada 2011 menaikkan gaji hingga 40 persen," tandas dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya