Liputan6.com, Jakarta - Mustofa Kurniawan menulis surat untuk Jokowi. Putra Zaini Misrin, TKI yang dieksekusi mati di Arab Saudi itu, ingin menyampaikan dua hal pada presiden.
Pertama, ia berterima kasih pada Pemerintah Indonesia yang sudah 14 tahun memperjuangkan pembebasan ayahnya. Meski, upaya itu akhirnya gagal.
Yang kedua, pemuda 18 tahun tersebut berpesan agar nasib tragis sang ayah tak berulang. "Dan mereka (TKI) yang saat tengah dalam masalah, jangan dilupakan," kata dia di ruang tamu rumahnya di Bangkalan, Madura, Selasa 20 Maret 2018.
Baca Juga
Advertisement
Mustofa mengaku sengaja menulis surat untuk Presiden Jokowi, agar perasaannya plong. Lega. Meski, sama sekali tak mudah baginya merangkai kata yang ditujukan untuk orang nomor satu di negeri ini. Rencananya, lembaran kertas berisi curahan hatinya itu dikirim via jasa pengiriman ke kantor kepresidenan.
"Dua hari dia enggak bisa tidur, mungkin dengan menumpahkan perasaannya lewat surat, dia bisa lebih tenang," kata sang bibi, Nur Intan.
Almarhum Zaini Misri meninggalkan dua putra. Mustofa adalah anak bungsu. Anak pertama, Syaiful Toriq (25), sempat menemuinya di tahanan.
Syaiful mengisahkan, pada 2010 ia mengirimkan surat elektronik ke Kementerian Luar Negeri. Untuk meminta bantuan agar bisa bertemu dengan sang ayah yang divonis mati pengadilan Arab Saudi.
Vonis mati dijatuhkan pada Zaini Misrin pada 17 November 2008. Pria itu dituduh membunuh majikannya, Abdullah Bin Umar pada Juli 2004 silam.
Permohonan Syaiful tak bertepuk sebelah tangan. Pada 2013, ia bahkan diberangkatkan ke Arab Saudi. Saat itulah ia bertemu dengan sang ayah.
"Saya sangat sedih melihatnya," ucap Syaiful kepada Liputan6.com di kediamannya Desa Kebun, Kecamatan Kamal, Kabupaten Bangkalan, Selasa (20/3/2018).
Dalam kesempatan itu, Syaiful, keluarga dan Pemerintah Indonesia mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Pengadilan Jeddah, Arab Saudi. Ada Hasilnya, gagal.
Upaya kedua diajukan pada 2015. Lagi-lagi ditolak. Keluarga Zaini lalu menempuh jalur lain dengan meminta bantuan ke Presiden Jokowi. Berkat campur tangan Istana, Pengadilan Jeddah Arab Saudi kemudian menunda eksekusi.
"Saya pun mulai bergerak lagi untuk bisa memperjuangkan agar Abah bisa bebas dan pulang ke Indonesia," kata dia.
Setelah penundaan, Saiful merasa mendapat angin segar. Pihaknya pun mengajukan kembali PK di pertengahan 2017 dengan alasan adanya bukti dan keterangan saksi baru. Kala itu ia optimistis, ayahnya bisa bebas.
Keyakinannya membuncah saat ia mendapat kabar PK ketiga diterima, meski tanpa kepastian. Syaiful pun terbang ke Arab Saudi. Tak disangka, itu menjadi pertemuan terakhirnya dengan Zaini.
"Pada saat itu, Abah pesan ke saya untuk terus jaga adik dan menyekolahkan adik. Abah juga senang saya sudah menikah dan mempunyai anak. Dia berjanji akan pulang," ucap Syaiful.
Pada Sabtu 17 Maret 2018, Syaiful diam-diam sempat berkomunikasi dengan Zaini. Pembicaraan itu tak lama, sekitar dua menit. Mereka membahas soal rencana kepergian sang ibu, Naimah yang mendapat panggilan kerja di Arab Saudi.
"Abah juga minta tolong doanya dan bersabar karena pasti pulang. Namun, kenyataannya beda," ucapnya.
Pada Minggu 18 Maret 2018 11.30 pagi, Zaini meregang nyawa di tangan algojo pancung. Sama sekali tak ada pemberitahuan dari pihak Kerajaan Arab Saudi.
Tangis cucu Zaini yang baru berusia 6 bulan di malam eksekusi mungkin adalah firasat. "Keluarga baru tahu kabarnya saat Isya, atau Minggu malam," ujar dia.
Usai dieksekusi, jenazah Zaini langsung dimakamkan. "Jenazah sudah langsung dimakamkan di Mekah pada hari Ahad (Minggu). Istri Zaini sekarang berada di Mekah melawat almarhum suaminya," ujar Duta Besar RI untuk Saudi, Agus Maftuh Abegebriel melalui pesan singkatnya kepada Liputan6.com pada Selasa (20/3/2018).
Agus yang ikut mendampingi istri Zaini mengatakan, perempuan itu telah ikhlas dan merelakan jenazah suaminya dimakamkan di Mekah, Arab Saudi.
Melukai Hati Rakyat Indonesia
Nama Zaini Misrin menambah daftar panjang WNI yang dieksekusi mati di luar negeri, khususnya di Arab Saudi.
Sebelumnya, pada 2015, Siti Zainab, TKI asal Bangkalan, Madura, dihukum mati dalam kasus pembunuhan. Tak lama kemudian Karni binti Medi Tarsim dieksekusi di dekat Madinah. Eksekusi mati juga menimpa Yanti Iriyanti pada 2008 dan Ruyati pada 2011.
Eksekusi mati Zaini yang berlangsung mendadak dan tanpa pemberitahuan mendapat reaksi keras dari berbagai pihak. Kementerian Luar Negeri telah melayangkan protes, baik secara lisan maupun tertulis ke pihak Arab Saudi.
Sementara itu, Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta menjadi sasaran demo. Pihak Riyadh dianggap tak menaati tata krama yang berlaku secara universal. Kematian Zaini melukai rakyat.
Duta Besar RI di Arab Saudi, Agus Maftuh Abegebriel mengatakan, sesuai Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961 atau Konvensi Wina, Arab Saudi memang tak berkewajiban memberikan notifikasi kekonsuleran kepada Indonesia sebelum melaksanakan eksekusi mati.
Namun, cara yang ditempuh Arab Saudi sama sekali tak sesuai harapan. "Kami sangat menyayangkan sikap Saudi yang tetap melaksanakannya tanpa memberitahu terlebih dulu. Hal itu mencederai hubungan kedua negara yang bersahabat," lanjut ucap Agus Maftuh.
Kekecewaan terhadap hukuman itu juga disampaikan sejumlah petinggi di Tanah Air. Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan mengaku heran mengapa tidak ada pemberitahuan terkait pelaksanaan eksekusi Zaini.
"Pemerintah juga tidak diinformasikan. Ini harus dicari apa sebabnya kok tidak ada notifikasi berkaitan dengan pelaksanaan hukuman mati TKI di Arab Saudi," kata Taufik di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (20/3/2018).
Menurut dia, saat ini Indonesia tengah intens melakukan perlindungan terhadap warganya.
Sehingga, jika tidak ada pemberitahuan dari pihak Arab Saudi ke pemerintah Indonesia, terkait penjatuhan hukuman mati, itu termasuk pelecehan pada Indonesia.
"Jangankan yang TKI, bagaimana juga masalah asuransi yang kena crane di sana kan juga harus ada tindak lanjut dari pemerintah Arab Saudi. Ini jadi catatan untuk pemerintah RI agar melakukan langkah tegas diplomasi kepada siapapun itu, termasuk Arab Saudi," ungkap dia.
Advertisement
Surat Jokowi untuk Raja Salman
Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengakui pemerintah sudah semaksimal mungkin berupaya agar eksekusi mati terhadap Zaini Misrin tidak terjadi.
"Ini kan masalah sudah lebih dari 14 tahun pengadilannya. Jadi bukan hal baru sebenarnya. Pemerintah sudah berusaha semaksimal mungkin," kata JK di kantornya, Selasa (20/3/2018).
JK menjelaskan publik seharusnya memahami hukum yang berlaku di negara lain. JK mencontohkan terkait beberapa pengedar narkoba yang hukuman mati di Indonesia.
"Sama juga, kita harapkan orang memahami hukum di Indonesia, seperti yang Anda tahu kita hukum mati berapa puluh orang narkoba. Jadi saling mengerti kalau Anda berada di satu negara jangan melanggar hukum negara tersebut," jelas JK.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah tak menampik peran pemerintah dalam mengupayakan pembebasan Zaini.
Bahkan, diplomasi upaya penundaan dan penangguhan vonis bahkan dilakukan hingga ke tataran tertinggi kepala negara, yakni dalam pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al Saud, pada tahun 2015 di Riyadh dan 2017 di Jakarta.
Pada September 2017, Presiden Jokowi pun kembali melakukan upaya penangguhan vonis hukuman mati, dengan mengirimkan surat kepada Raja Salman.
"Terakhir sejak awal Maret 2018, Kementerian Luar Negeri RI masih aktif mengirimkan surat, bukti, dan keterangan saksi-saksi yang sekiranya mampu meringankan dan menangguhkan vonis hukuman mati tersebut. Tetapi, tampaknya pintu peradilan sudah ditutup dan kemudian vonis hukuman mati tetap dilaksanakan tanpa memberikan notifikasi kekonsuleran resmi kepada pihak RI," jelas Anis kepada Liputan6.com.
"Bahkan, pihak Kemlu RI mengetahui kalau Zaini sudah dieksekusi dari sumber-sumber tidak resmi," lanjut dia.
Agar kasus Zaini tidak lagi terulang, Anis meminta agar Pemerintah berani bersikap tegas terhadap Arab Saudi. Salah satunya dengan menunda kunjungan kenegaraan Presiden Jokowi ke Arab Saudi.
Dikabarkan, Jokowi akan melakukan kunjungan ke Riyadh pada Mei 2018. Namun, belum ada konfirmasi resmi dari Kementerian Luar Negeri RI hingga saat ini ataupun dari pihak Arab Saudi.
"Kami meminta agar Presiden Jokowi membatalkan kunjungannya ke Arab Saudi. Jelas ini untuk menanggapi eksekusi mati Zaini," ucap Anis.
Sikap keras ini perlu dilakukan agar Arab Saudi menghormati Indonesia dan lebih menghargai TKI yang selama ini bekerja di sana.
"Kita harus memikirkan cara efektif apa yang bisa dilakukan agar Saudi menghormati kita. Karena hubungan baik antar kepala negara (Jokowi dan Raja Salman) tidak menjamin bisa menghapuskan hukuman mati para TKI," ucap dia.