Utang RI Jadi Perdebatan Politik, Menko Darmin Bakal Lapor Jokowi

Menko Bidang Perekonomian, Darmin Nasution membeberkan fakta mengapa Indonesia perlu berutang.

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Mar 2018, 21:47 WIB
Menko Perekonomian Darmin Nasution saat memberikan paparan dalam pembukaan seminar Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) di Jakarta, Rabu (17/1). Seminar tersebut bertemakan "Mengelolah potensi Ekonomi 2018". (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution menanggapi posisi kenaikan utang Indonesia yang dijadikan sebagai perdebatan politik. Menurutnya, bisa saja utang tidak meningkat, tetapi dengan syarat pembangunan infrastruktur menjadi lambat.

"Jadi itu hanya dikembangkan ke arah isu politik. Sebetulnya pilihannya bisa saja pemerintah tidak menambah utang tapi infrastrukturnya mungkin diperlambat. Mau pilih yang mana? Bikin infrastruktur itu kan untuk menghidupkan ekonomi masyarakat," ujar Darmin di kantornya, Jakarta, Selasa (20/3/2018).

Darmin mengatakan, utang Indonesia meningkat karena simpanan (saving) Indonesia tidak cukup besar untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Sejauh ini pun, pemerintah secara intensif telah menjelaskan kepada masyarakat terkait penggunaan penarikan utang tersebut.

"Kita sudah jelaskan semuanya mengenai utang. Bahwa kita itu, memang perlu membangun infrastruktur ya kan. Kita saving-nya tidak cukup tinggi sehingga kita perlu dana. Itu juga bukannya sesuatu yang berlebihan di luar kontrol karena rasio utang kita terhadap PDB-nya masih rendah dibandingkan dengan beberapa negara lain," jelas Darmin.

Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) itu menjelaskan, pembangunan infrastruktur membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga tidak dapat langsung dirasakan bagaimana manfaatnya kepada masyarakat. Namun demikian, dia memastikan, pembangunan infrastruktur masih sesuai target.

"Memang persoalannya kan membangun infrastruktur itu bukan setahun dua tahun. Dia itu membangun waduk bisa bertahun-tahun sehingga pengeluarannya sudah terjadi, tapi hasilnya belum dapat. Kenapa karena infrastruktur nya belum selesai tapi berjalan," jelas Darmin. 

 

Reporter : Anggun P. Situmorang

Sumber : [Merdeka.com](https://www.merdeka.com "")

 


Lapor Jokowi

Aksi aktivis Koalisi Anti Utang di Bunderan Hotel Indonesia, Jakarta, Selasa (16/8). Mereka mendesak pemerintah melakukan audit hutang luar negeri.(Antara)

Darmin menambahkan akan segera melapor kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait perkembangan pembangunan infrastruktur yang pembangunannya masih berjalan dan telah selesai. Sehingga, tidak ada lagi perdebatan peningkatan utang tidak produktif.

"Dalam waktu dekat kita akan melaporkan ke Presiden mengenai perkembangan infrastruktur strategis. Supaya jelas ada berapa yang sudah selesai, ada berapa yang sedang dibangun. Ada berapa itu jumlah dan nilainya loh," jelasnya.

"Ada berapa yang pembangunannya berjalan jauh menunggu tidak terlalu lama selesai dan seterusnya. Sehingga persoalan itu adalah soal pilihan bukan karena terpaksa. Bisa saja tidak berutang atau dikurangi, tapi dikurangi membangun infrastrukturnya. Mau pilih yang mana, jadi pertanyaan politiknya itu," dia menambahkan. 

Sebelumnya, pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati yang mengklaim utang pemerintah saat ini masih aman, bahkan jika dibandingkan Jepang mendapatkan sejumlah kritikan. Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), M. Sohibul Iman mengatakan Sri Mulyani tak bisa membandingkan utang Indonesia dengan utang Jepang.

"Utang luar negeri Indonesia dibanding-bandingkan dengan Jepang, itu tidak apple to apple. Utang Indonesia ini sudah mengkhawatirkan, tak bisa dibandingkan dengan Jepang," ujar Sohibul.

Meski secara rasio utang Jepang lebih tinggi, yakni mencapai 200 persen lebih, namun menurut dia, Jepang mempunyai fundamental ekonomi yang lebih kuat dibanding Indonesia. Apalagi, surat utang di Jepang itu lebih banyak dimiliki oleh warganya sendiri.

"Surat utang di Jepang itu lebih banyak dimiliki oleh warganya sendiri, bunganya juga sangat kecil. Berbeda dengan di Indonesia yang bunganya besar," kata Sohibul. 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya