Liputan6.com, Pati Suara tembang pangkur menyusup di kaki Pegunungan Kendeng, Senin (20/3/2018) malam. Tembang Pangkur adalah tembang macapat kesembilan dalam budaya Jawa. Macapat adalah kumpulan syair dalam bahasa Jawa, biasa ditembangkan dalam momen-momen tertentu kehidupan manusia, seperti kelahiran bayi, peringatan orang mati dan lain-lain.
Setunggal warsi laminya (Satu tahun lamanya) / Loro siji ingkang warsi (Dua satu tanggalnya) / Kaleh ewu pitulas puniku (Adalah di tahun 2017)/ Yu Patmi ninggalken ndunya (Yu Patmi meninggalkan dunia) / Ninggal dulur ugi perjuwanganipun (Meninggalkan saudara dan menyudahi perjuangan dunia)/ Kula lan ndika sedaya (Saya dan kalian semua) / Kinen ngrampungaken sami (Harus menyelesaikannya)//.
Entahlah siapa yang menembangkan, tapi disusul sebuah doa yang lebih tepat disebut tekad dari semua yang hadir.
“Patmi Sang Patriot Bumi. Tidak terasa sudah satu tahun engkau dipanggil Gusti. Apa yang sudah engkau lakukan semuanya kami yang akan meneruskan. Kami percaya Yu Patmi akan selalu ngawat-awati apa yang dilakukan dulur-dulur dalam menolak berdirinya pabrik semen di Pegunungan Kendeng."
Baca Juga
Advertisement
Siapa Patmi? Patmi adalah seorang perempuan dari pegunungan Kendeng yang pada 21 Maret 2017 meninggal dunia. Ia meninggal saat melangsungkan aksi Dipasung Semen Jilid 2 di seberang Istana Merdeka, Jakarta.
Menurut Gunretno, seorang sedulur sikep (kaum Samin) dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK), bagi warga pegunungan Kendeng Patmi adalah martir ekologis. Pejuang lingkungan yang sudah paripurna.
"Jadi agenda 'mlaku bengi njaga bumi' ini kita lakukan selain untuk haul Yu Patmi juga merenungi kebaikan ibu Bumi yang sudah memberi hidup, penghidupan, dan kehidupan," kata Gunretno kepada Liputan6.com, Selasa (22/3/2018).
Ritus 'mlaku bengi njaga bumi' dilakukan dengan jalan kaki menempuh jarak 30 km. Diawali dari Posko Penyelamatan Pegunugan Kendeng di desa Kayen melewati Desa Sumbersari, Desa Beketel, Desa Purwokerto di Kecamatan Kayen dan berakhir di monumen Monumen Patmi Kendeng di Desa Larangan, KecamatanTambakromo, Kabupaten Pati.
"Ibu Bumi wis maringi, ibu Bumi dilarani, ibu Bumi kang ngadili," demikian secara ritmis para peserta mengiringi langkah-langkah kaki mereka menyusuri kaki Pegunungan Kendeng hingga puncak.
Pernyataan Media vs Kondisi Faktual
Ritus malam ini tergolong langka. Dengan obor di tangan mereka berzikir hingga menjelang fajar. Lereng hingga puncak pegunungan Kendeng adalah titik kesaksian menghamburnya harapan agar pemerintah menjawab tuntutan pelestarian pegunungan Kendeng.
"Salah satu upaya kecil yang bisa dilakukan Presiden adalah melarang penambangan batu kapur. Ini akan mencegah kerusakan parah yang berakibat krisis air seperti yang sudah terjadi," kata Gunretno.
Masalah lingkungan di Rembang sebenarnya sudah mengikuti aturan hukum. Warga pegunungan Kendeng juga menang di pengadilan. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Tahap Pertama yang kajiannya difokuskan di Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih Rembang juga menyimpulkan kawasan CAT Watuputih memenuhi kriteria sebagai Kawasan karst.
"Sudah ada rekomendasi kepada Bupati dan Gubernur agar mengusulkan kepada Kementerian ESDM untuk menetapkan CAT Watuputih sebagai Kawasan Bentang Alam Karst yang harus dilindungi," kata Gunretno.Sayang sekali, rekomendasi itu tak satu pun dijalankan. Padahal menurut Gunretno, itu adalah momentum bahwa selama proses perubahan CAT menjadi kawasan karst dan mengintegrasikan perda tata ruang, tidak boleh ada kegiatan yang merusak akuifer CAT.
Gubernur (nonaktif) Ganjar Pranowo selalu menyampaikan bahwa pabrik PT Semen Indonesia di Rembang tidak akan beroperasi sampai KLHS selesai. Bagaimana kenyataan di lapangan?
"Pabrik semen mengaku belum menambang, tetapi nyatanya beroperasi mengambil hasil tambang dari CAT yang penambanganya dilegalkan oleh pemerintah dan masih banyak lagi bukti kebohongan yang terus berusaha ditutupi," Gunretno mengungkapkan.
Advertisement
Ada Samin vs Semen
Pandangan berbeda disampaikan Ngatiban. Salah satu aktivis lingkungan ini juga menyebutkan bahwa dalih negara dirugikan Rp 5 triliun adalah sesat pikir. Angka Rp 5 triliun memang besar, tapi itu tak sebanding dengan jasa yang diberikan lingkungan. Angka Rp 5 triliun tak akan mampu membuat perbukitan karst.
"Tak ada manusia yang sanggup membuat bukit karst, dibayar berapa pun. Ini soal keseimbangan alam, jangan disederhanakan menjadi hitung-hitungan bakul," kata Ngatiban.
Dalam haul setahun meninggalnya Patmi, ternyata ada pula peringatan di wilayah lain. Warga Dukuh Widuri, Desa Kemadohbatur, KecamatanTawangharjo, Kabupaten Grobogan selain mendoakan Patmi juga memutar film dokumenter Samin vs Semen.
Film Samin VS Semen adalah film dokumenter produksi Watchdoc yang berdurasi 39 menit 25 detik. Film ini bagian dari Ekspedisi Indonesia Biru, perjalanan keliling Indonesia yang dilakukan Dhandy Dwi Laksono dan Suparta AZ.
Selain itu, warga Desa Tegaldowo dan Timbrangan, Rembang, juga menggelar tradisi brokohan di Putok (titik pengeboran yang dilakukan ESDM) desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang.
Kampanye pelestarian lingkungan dilakukan dengan pementasan Kentrung Kiter. Sebuah seni bercerita atau sastra lisan yang masih hidup di sekitar pegunungan Kendeng. Digelar di Desa Gandu, Kecamatan Bogorejo, Kabupaten Blora yang merupakan bagian dari Ekspedisi Kendeng.
Di kawasan ini warga menggali dan mengkaji keanekaragaman hayati. Sebagai pegunungan purba, Pegunungan Kendeng memiliki keanekaragaman hayati yang sulit ditemui di tempat lain.
"Wajar jika kami melanjutkan perjuangan Yu Patmi dalam menjaga pegunungan Kendeng. Kami sudah 12 tahun berjuang menolak pembangunan pabrik semen yang merusak lingkungan. Kami ingin udara tetap sejuk dan langit tetap biru," kata Ngatiban.