Eks Pegawai Sebut Facebook Sudah Lama Tutup Mata soal Penyalahgunaan Data

Menurut Sandy Parakilas, Facebook memilih untuk tak mengetahui apa saja yang dilakukan pihak ketiga terhadap data dari media sosial tersebut.

oleh Agustinus Mario Damar diperbarui 21 Mar 2018, 12:00 WIB
Ilustrasi Facebook (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta - Heboh kasus kebocoran data yang menjerat Facebook baru-baru ini membuat sebagian pihak angkat suara. Salah satunya mantan pegawai Facebook, Sandy Parakilas, yang menyebut perusahaan sudah lama tutup mata soal penyalahgunaan data. 

Parakilas yang pada 2011 dan 2012 menjabat sebagai platform operations manager di Facebook bertanggung jawab mengatur pembagian data ke pihak ketiga. Ketika itu, ia sudah memperingatkan perlunya perlindungan data bagi pengguna media sosial tersebut.

"Perhatian saya saat itu adalah data yang meninggalkan server Facebook ke pengembang tak dapat diawasi oleh perusahaan, sehingga kami tak mengetahui apa yang dilakukan oleh pengembang dengan data tersebut," tuturnya seperti dikutip dari The Guardian, Rabu (21/3/2018).

Ia menuturkan, Facebook memiliki persyaratan dan aturan layanan yang sebenarnya tak dimengerti dan dibaca oleh pengguna. Selain itu, perusahaan tak memiliki mekanisme antisipasi, termasuk audit pengembang eksternal untuk memastikan data tak disalahgunakan.

Karena itu, dengan hebohnya kasus kebocoran data dari 50 juta pengguna Facebook saat ini, ia mengaku kecewa karena petinggi perusahaan tak mengindahkan peringatannya. "Sakit melihat hal ini terjadi, karena saya tahu mereka dapat mencegahnya," tutur Parakilas.

Parakilas yang kini bekerja di Uber pun menuturkan Facebook tak memiliki kontrol pada data yang dikumpulkan pengembang pihak ketiga. Ia mengaku sempat terlintas di pikirannya ada pasar gelap untuk data pengguna tersebut.

Untuk itu, ia pun beberapa kali meminta para petinggi melakukan audit pengembang dan mengetahui apa yang dilakukan para pengembang dengan data tersebut. Namun, ide itu selalu ditolak dan ia diberi peringatan untuk tak melakukan hal tersebut.

Penolakan itu, menurut Parakilas, dilakukan sebab Facebook merasa memiliki posisi hukum yang lebih kuat apabila tak mengetahui adanya pelanggaran yang terjadi. "Mereka merasa lebih baik tak mengetahuinya. Hal itu sangat mengagetkan dan menakutkan bagiku," ujarnya.


Bantahan Facebook

Ilustrasi Facebook (iStockPhoto)

Pernyataan Parakilas ini sendiri sebenarnya sudah diungkap sejak empat bulan lalu. Namun, pernyataan tersebut baru relevan setelah adanya temuan pembagian data 50 juta pengguna ke Cambridge Analytica baru-baru ini.

Facebook sendiri menolak berkomentar terkait pernyataan Parakilas tersebut. Raksasa media sosial itu hanya menyebut melalui laman blog resminya bahwa perusahaan telah meningkatkan aturan terkait praktik berbagi data selama lima tahun terakhir.

"Meskipun wajar untuk mengkritik cara kami menerapkan kebijakan pengembang lebih dari lima tahun lalu, tidak benar untuk menyebut kami tak peduli dengan privasi. Fakta sebenarnya berbeda dari kisah tersebut," tulis Facebook dalam pernyataannya November 2017. 

Kabar mengenai penyalahgunaan data dari pengguna Facebook itu mencuat tak lama setelah seorang whistleblower bernama Christopher Wylie, mengungkapkan kepada Observer The Guardian, cara Cambridge Analytica memanfaatkan data pengguna Facebook diam-diam. 

Menurutnya, CA menggunakan informasi personal diambil tanpa izin pada awal 2014 untuk membangun sebuah sistem yang dapat menghasilkan profil pemilih individual AS.

Hal ini dilakukan untuk menargetkan mereka dengan iklan politik yang telah dipersonalisasi. CA sendiri merupakan perusahaan yang dimiliki oleh miliarder Robert Mercer dan pada saat itu dimpimpin oleh penasihat utama Trump, Steve Bannon.


Kisruh Kebocoran Data Facebook dan Cambride Analytica

Ilustrasi Facebook (iStockPhoto)

"Kami mengekspolitasi Facebook dan "memanen" jutaan profil orang-orang. Kami membuat berbagai model untuk mengeksploitasi apa yang kami tahu tentang mereka dan menargetkan 'isi hati' mereka. Itulah dasar keseluruhan perusahaan dibangun," ungkap Wylie.

Dokumen yang dilihat Observer dan dikonfirmasi oleh pernyataan Facebook, menunjukkan bahwa perusahaan pada akhir 2015 mengetahui ada kebocoran data yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Namun, Facebook saat itu gagal memperingatkan para pengguna, kemudian hanya melakukan sedikit upaya untuk memulihkan dan mengamankan informasi lebih dari 50 juta penggunanya.

Menurut laporan New York Times, salinan pengambilan data untuk CA masih bisa ditemukan di internet. Tim media tersebut juga dilaporkan melihat beberapa data mentah.

Seluruh data dikumpulkan melalui sebuah aplikasi bernama thisisyourdigitallife, yang dibuat oleh akademisi Aleksander Kogan, terpisah dari pekerjaannya di Cambridge University.

Melalui perusahaannya, Global Science Research (GSR) berkolaborasi dengan CA, membuat ratusan ribu pengguna dibayar untuk menjalani pengujian kepribadian dan menyetujui data mereka diambil untuk kepentingan akademis.

Selain itu, aplikasi juga mengumpulkan informasi dari test-taker teman-teman di Facebook, yang menyebabkan akumulasi puluhan juta data.

Kebijakan platform Facebook hanya mengizinkan pengumpulan data teman-teman untuk meningkatkan pengalaman pengguna di aplikasinya, dan dilarang untuk dijual atau digunakan untuk iklan.

Selain dugaan keterlibatan skandal media sosial CA dalam Pilpres AS, perusahaan dan Facebookmenjadi fokus penyelidikan terkait data dan politik oleh British Information Commissioner's Office. Secara terpisah, Electoral Commision juga menyelidiki peran CA dalam referendum Uni Eropa.

(Dam/Ysl)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya