Ditjen Pajak: Meterai Palsu Rp 6.000 Dijual Online Rp 1.500 per Lembar

Ditjen Pajak mengapresiasi penangkapan 8 tersangka pengedar meterai palsu via blog dan online yang rugikan negara.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 21 Mar 2018, 12:17 WIB
Materai palsu beredar. (Merdeka.com/Ronald)

Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal atau Ditjen Pajak mengapresiasi kerja Tim Satuan Tugas Fismondev Kepolisian Republik Indonesia Daerah Metro Jaya yang telah menindaklanjuti laporan dari Direktorat Intelijen Perpajakan Ditjen Pajak. Polda Metro Jaya berhasil mengungkap perkara penjualan meterai tempel palsu melalui blog dan toko online.

Dari keterangan resmi Ditjen Pajak, Jakarta, Rabu (21/3/2018), Tim Fismondev Polda Metro Jaya telah mengamankan delapan orang tersangka dengan sejumlah barang bukti termasuk 64.412 keping meterai tempel palsu nominal Rp 6.000 yang dijual para pelaku secara online dengan harga Rp 1.500 per keping.

Para pelaku telah melakukan penjualan meterai palsu selama tiga tahun, dan berdasarkan aliran rekening penampung terindikasi hasil penjualan meterai palsu tersebut telah menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 6,1 miliar.

Para pelaku dijerat dengan Pasal 13 UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai jo Pasal 253 KUHP jo Pasal 257 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama tujuh tahun dan/atau Pasal 3, 4, dan 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan ancaman pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun. Sementara denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 15 miliar.

Masyarakat diharapkan untuk cermat dalam menanggapi tawaran penjualan benda meterai atau meterai tempel yang diduga palsu atau tidak sah, baik yang ditawarkan melalui SMS, media online, maupun sarana penawaran lainnya.

Bagi masyarakat yang menemukan informasi adanya indikasi peredaran meterai palsu atau tidak sah agar dapat langsung mengadukan hal tersebut dengan menghubungi Kring Pajak 1500200 atau melaporkan kepada Kantor Polisi terdekat.


Meterai Tempel Jadi Rp 10.000

(Foto: Ditjen Pajak)

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan menyatakan, pemerintah sedang berjuang memasukkan usulan kenaikan bea meterai progresif dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016. Ditjen Pajak berencana menyatukan kenaikan bea meterai menjadi satu tarif, yakni Rp 10.000.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Mekar Satria Utama mengatakan, pihaknya sudah mendesain draf kenaikan bea meterai dalam sebuah revisi Undang-Undang (UU) Bea Materai.

Hanya saja, lanjutnya, usulan ini harus bersaing dengan rencana kebijakan perpajakan lain, seperti revisi UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), serta Rancangan UU Penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk masuk ke Prolegnas tahun ini.

"Kita prioritaskan KUP dulu, tapi target semestinya revisi UU Bea Meterai bisa masuk Prolegnas tahun depan," ujar dia saat ditemui di Pulau Ayer, Kepulauan Seribu, Jumat (9/10/2015).

Mekar menjelaskan, pemerintah mengusulkan tarif tunggal bea meterai tempel menjadi Rp 10.000. Itu artinya, kata dia, tak ada lagi meterai tempel senilai Rp 3.000 dan Rp 6.000 yang banyak beredar saat ini.

"Yang pasti hanya satu benda meterai, sekarang Rp 3.000 dan Rp 6.000, jadi tarifnya kemungkinan akan jadi satu Rp 10.000," ungkap Mekar.

Mekar menuturkan, kebijakan ini akan diikuti kenaikan pengenaan bea meterai pada transaksi belanja dari semula Rp 1 juta menjadi lebih dari Rp 3 juta, Rp 7,5 juta sampai Rp 10 juta. Jadi ada biaya tambahan jika masyarakat berbelanja dengan nilai tersebut.

"Jadi bukan transaksi belanja Rp 250 ribu, dikenakan bea meterai ya. Kalau belanja sebulan sampai Rp 10 juta, boleh ya dikenakan bea meterai. Pembeli pasti menyimpan struknya kalau belanja ponsel Rp 9 juta misalnya. Jadi bisa kita kenakan," papar Mekar.

Mekar berharap, usulan kenaikan bea meterai menjadi satu tarif bisa masuk Prolegnas tahun depan, sehingga Ditjen Pajak akan memberlakukannya mulai 2017.

"Bea meterai diberikan jatah waktu setengah tahun. Kalau aturan terbit di awal tahun, mungkin di awal Juni bisa diterapkan. Cuma kan harus disosialisasikan dulu, jadi kalau nanti terbit di 2016, maka berlakunya pasti 2017," tandas Mekar.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya