Liputan6.com, Jakarta - Sektor keuangan Indonesia terhitung masih relatif sehat pada 2018. Namun begitu, itu belum berarti menandakan negara dalam kondisi aman dari siklus krisis keuangan 10 tahunan yang terjadi pada 1998 dan 2008.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance ( INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan, negara pernah dilanda krisis moneter pada 1997-1998. Kemudian kembali diterpa krisis ekonomi pada 2008 akibat subprime mortgage crisis atau krisis properti di Amerika Serikat.
"Kalau kita lihat indikator-indikator dari kinerja sektor keuangan, terutama perbankan, relatif sehat. Apakah potensi krisis di sektor keuangan ada? Kita hampir yakin menjawab, relatif tidak mengkhawatirkan," jelas dia di Kantor INDEF, Jakarta, Rabu (21/3/2018).
Baca Juga
Advertisement
Namun begitu, dia mengingkatkan, negara harus berkaca pada krisis utang yang terjadi di beberapa negara di Eropa seperti Yunani pada 2011. Enny mengatakan, ada kemiripan indikator antara apa yang terjadi di Yunani pada saat itu dengan yang dialami Indonesia saat ini.
Dia menyatakan, utang negara pada 2017 lalu adalah Rp 7 ribu triliun, yang terdiri dari utang pemerintah dan utang swasta. Ia mengatakan, utang pemerintah adalah utang yang masuk untuk menambal minusnya anggaran negara, sedangkan utang swasta adalah utang yang dilakukan oleh pihak swasta domestik maupun BUMN.
Adapun rincian utang tersebut terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 3.128 triliun, utang luar negeri yang mencapai USD 177 miliar atau sekitar Rp 2.389, dan utang luar negeri swasta sebanyak USD 172 miliar atau sekitar Rp 2.322 triliun. Jumlah utang tersebut, menurut dia, membuka kemungkinan masih belum termasuk dengan utang yang dilakukan pihak BUMN.
"Negara juga seperti individu. Apa yang membuat kita bisa tidur nyenyak karena adanya utang? Ya kalau kita mampu bayar," pungkas dia.
Indef Sebut Utang Indonesia Tembus Rp 7.000 Triliun
Sebelumnya, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Riza Annisa Pujarama mengatakan, posisi utang pemerintah terus meningkat secara agresif sejak 2015. Peningkatan utang seiring kebutuhan belanja infrastruktur yang menjadi prioritas kerja Pemerintahan Jokowi.
"Utang pemerintah melonjak dari Rp 3.165 triliun (2015) menjadi Rp 3.466, triliun (2017). Peningkatan utang terus berlanjut hingga APBN 2018-Februari menembus angka Rp 4.034, 8 triliun dan pada APBN 2018 mencapai Rp 4.772 triliun," kata Riza di Kantor INDEF, Jakarta Selatan, Rabu 21 Maret 2018.
Bahkan, kata Riza, sebenarnya total utang negara Indonesia telah mencapai lebih dari Rp 7.000 triliun. Angka tersebut gabungan dari utang pemerintah dan swasta. Utang pemerintah tersebut ditujukan untuk membiayai defisit anggaran, sementara utang swasta berasal dari korporasi swasta dan badan usaha milik negara (BUMN).
"Kementerian Keuangan dalam APBN 2018 menyatakan total utang pemerintah mencapai Rp 4.772 triliun. Namun, jika menelisik data out-standing Surat Berharga Negara (SBN) posisi September 2017 sudah mencapai Rp 3.128 triliun, terdiri SBN denominasi rupiah sebanyak Rp 2.279 triliun, dan dalam denominasi valas Rp 849 triliun. Sementara, utang swasta tahun 2017 telah mencapai sekitar Rp 2.389 triliun," papar dia.
Riza menyebut, terdapat dua indikator utang yang biasanya dipakai pemerintah, yaitu rasio keseimbangan premier terhadap PDB dan rasio utang terhadap PDB. Rasio keseimbangan premier terhadap PDB pada APBN 2017 mengalami minus 1,31 persen.
"Hal ini menunjukkan cash flow pemerintah justru semakin tekor ketika menambah utang. Akibatnya, untuk membayar bunga dan cicilan utang terus ditopang oleh utang baru," ujarnya.
Adapun, rasio utang terhadap PDB tahun 2017 sebesar 2,89 persen memang masih dalam batas wajar. Artinya, indikator rasio utang pemerintah tetap dalam waspada.
"Menurut penjelasan Pasal 12 ayat 3 UU No 17 2003 tentang keuangan negara menyebutkan bahwa defisit anggaran dibatasi maksimal sebesar 3 persen dan utang maksimal 60 persen dari PDB," dia menandaskan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement