Liputan6.com, Purbalingga - Kata 'purba' yang melekat pada Purbalingga, salah satu kabupaten di Jawa Tengah, ternyata bukan hanya tempelan semata. Banyak artefak ditemukan di kabupaten yang berada di kaki Gunung Slamet itu.
Purbalingga tak kalah kaya akan peninggalan purbakala dengan situs Sangiran di Sragen atau Pati Ayam di Kudus, yang lebih dahulu tenar. Salah satu yang menarik adalah temuan bermacam perhiasan purba di kaki bukit Plana, tepatnya di Desa Limbasari, Kecamatan Bobotsari. Lokasi tersebut berjarak 16 kilometer dari pusat kota.
Wilayah tersebut ditengarai dulunya merupakan pusat bengkel yang memproduksi berbagai macam perhiasan bagi manusia purba. Ihwal bengkel perhiasan purba itu bermula dari banyaknya penemuan sampah-sampah batu (tatal) yang tidak biasa di sejumlah titik di kedalaman tertentu.
Baca Juga
Advertisement
Pada 1983, Balai Arkeologi Yogyakarta tergugah untuk meneliti lebih dalam. Saat itu, rombongan peneliti dipimpin arkeolog senior Prof Harry Truman Simanjuntak. Mereka membuat empat titik ekskavasi (test pit) untuk empat lokasi di desa ini.
"Tanah yang digali itu di Dusun Limbasari, Dusun Trondol Kidul dan dua titik di Dusun Karangjoho. Para peneliti itu selama setahun tinggal di rumah saya," kenang Djunaedi Abdulah (55) kepada Liputan6.com, medio Maret lalu.
Dalam penelitian 35 tahun silam itu ditemukan berbagai macam artefak. Di antaranya fragmen gelang batu, termasuk batu calon gelang hingga sisa bahan gelang. Ada pula beliung persegi, calon batu beliung, juga fragmen beliung purba.
Tarik Perhatian Australia
Laporan Penelitian Arkeologi Limbasari 1983 yang disimpan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Kabupaten Purbalingga menyimpulkan kawasan Desa Limbasari merupakan bekas perbengkelan dari tradisi neolithikum ± 2500 SM. Produk yang dihasilkan terutama gelang batu dan beliung persegi.
Kini, bekas lokasi-lokasi ekskavasi telah rata kembali terkubur tanah. Meski demikian, situs ini masih sering dikunjungi para pelajar ataupun mahasiswa.
"Mereka minta dipandu, ditunjukan bekas lokasi penggalian. Pernah juga datang mahasiswa dari Australia ke sini," tutur Djunaedi.
Pasca-penelitian, sebagian artefak diamankan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta sebagai sampel dan bisa dijumpai di Museum Artefak Sanggaluri Park di Desa Kutasari, Kecamatan Kutasari. Lokasi objek wisata ini hanya berjarak 4 kilometer timur laut kota Purbalingga.
Kepala Seksi Cagar Budaya dan Permuseuman Dindikbud Purbalingga, Rien Anggaraeni Setya mengungkapkan museum ini cukup lengkap untuk menceritakan tahap-tahap dari proses perbengkelan batu dari zaman neolithikum. Bahkan, dilengkapi poster-poster tentang perkiraan cara pembuatan gelang atau beliung persegi oleh masyarakat purbakala saat itu.
"Artefak yang ada mulai dari batu bahan baku, calon gelang, calon beliung dan beliung jadi. Untuk gelang batu yang masih utuh memang belum ditemukan, umumnya yang ditemukan sudah dalam bentuk fragmen (pecahan) gelang saja," katanya.
Selain itu juga dipamerkan batu-batu dari sisa atau sampah dari perbengkelan. Di antaranya batu bundar sisa gelang batu, serta serpihan-serpihan tatal batu. Melalui museum atrefak ini, ia berharap bisa memberi pendidikan arkeologi kepada para pengunjung museum.
"Salah satunya bisa mencermati perbedaan batu biasa dengan batu yang sudah sedikit dibentuk oleh intervensi kebudayaan manusia masa lampau," imbuhnya.
Advertisement
Jadi Buruan Warga
Sementara itu, artefak yang tidak diangkut masih terkubur di situ itu dan menjadi buruan warga. Salah satunya adalah warga dari Dusun Trondol Kidul, Tobingah (60) yang mengaku masih sering menemukan artefak-artefak dari sisa perbengkelan purbakala itu. Bahkan, ia seringkali mencarinya karena bernilai jual.
"Batu-batunya (artefak,red) tidak ditemukan begitu saja di permukaan tanah. Setidaknya sedikit digali seperti saat mencangkul akan menanam pohon atau membersihkan rumput liar, biasanya ditemukan," katanya.
Benda arkeologi yang sering ditemukannya adalah lempengan batu bundar halus yang disebut pula sebagai sisa bahan gelang. Tobingah menjualnya bukan sebagai benda antik, tetapi sebagai bahan membuat cincin akik. Terlebih pada 2015, demam akik sedang melanda.
"Dulu saya jual per kepingnya Rp 10.000. Tapi sekarang sudah tidak musim lagi batu akik sehingga sudah tidak ada lagi yang nyari," katanya sambil menunjukkan enam keping artefak simpanannya yang belum laku.
Sementara itu, arkeolog Purbalingga, Adi Purwanto mengungkapkan batu-batu yang ada di Desa Limbasari memiliki keunikan. Desa yang berada di kaki Bukit Plana dan sebelah barat Sungai Tungtunggunung ini kaya akan batu rijang warna hijau zamrud.
"Mungkin itulah mengapa di sini dijadikan semacam bengkel produsennya. Artisan (masyarakat purba,red) saat itu sudah bisa memilih batu yang bagus dan untuk dijadikan perhiasan gelang," tuturnya.
Saksikan video pilihan berikut ini: