Liputan6.com, Jakarta - Media sosial kerap dijadikan alat penyebar hoaks, politisasi agama, dan kampanye hitam menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada). Itu tentunya akan berdampak negatif pada keutuhan NKRI.
Hal itu diungkapkan Pengasuh Pondok Pesantren Edi Mancoro, Semarang KH. Muhammad Hanif dalam diskusi bertajuk “Gotong Royong Mencegah Kampanye Hitam dan Politisasi SARA Pada Pilkada Serentak 2018”. Kegiatan ini diselenggarakan di Pondok Pesantren Edi Mancoro, Jl. Imam Bonjol Km. 04, Gedangan, Tuntang, Semarang, Jawa Tengah, Selasa sore, 20 Maret 2018.
Advertisement
Kegiatan ini terselenggara atas kerjasama The Mahfud Ridwan Institute dan Komunikonten (Institut Media Sosial dan Diplomasi). Dalam diskusi literasi media itu, sebanyak 103 santri mahasiswa mendapatkan materi dari beberapa narasumber.
Selain Kiai Haji Muhammad Hanif, S.Sos, M.Hum, ada Koord Divisi Pencegahan dan Hub Antarlembaga Panwas Kota Semarang Nining Susanti, S.Sos.I. Lalu ada Pakar Pemikiran Islam dari IAIN Salatiga Prof. Dr. phil. Asfa Widianto dan Hariqo Wibawa Satria, M.Si sebagai Direktur Eksekutif Komunikonten.
Muhammad Hanif mengatakan, kejujuran membawa kepada kebaikan sementara dusta membawa kepada kejahatan. Islam sudah memberikan tips jitu menghadapi berita-berita yang dibawa oleh orang fasik, yaitu dengan tabayyun atau konfirmasi ke berbagai sumber, cek dan ricek, memeriksa dengan teliti.
Sebab jika kita tidak memeriksanya dengan teliti atau langsung menyebarkannya, maka akan timbul menyesal karena dampak buruknya sangat luas.
“Dengan segala kerendahan hati, kami mengajak semua pihak agar tidak membuat dan memproduksi konten-konten yang merusak ukhuwah Islamiyah dan keutuhan NKRI. Di Ponpes Edi Mancoro, meskipun belum banya,k para santri sudah mulai memproduksi konten-konten dan akan terus kita budayakan,” jelasnya.
Sementara itu, Asfa Widianto menjelaskan, adanya orang yang rajin ibadah namun di media sosial dan di grup percakapan online juga menyebarkan hoax serta politisasi agama. Makanya, kesalehan individu perlu disertai dengan kesalehan sosial.
Dia menyebut, kesadaran bahwa hoax, kampanye hitam, politisasi agama bisa merusak bangunan NKRI juga merupakan sebuah kesalehan. Itu karena, setiap orang cenderung memusuhi hal yang tidak dia ketahui. Munculnya konten menghina SARA pun disebabkan kurangnya pengetahuan tentang keberagaman.
“Karena itu para santri jangan pernah berhenti membaca, menulis, berdiskusi. Hanya dengan banyak membaca kita dapat memproduksi konten-konten yang benar dan bermanfaat,” jelasnya.
Narasumber lain Nining Susanti menjelaskan, salah satu tolak ukur keberhasilan pengawasan pemilu adalah tingginya partisipasi masyarakat dalam mengawasi setiap tahapan kampanye.
“Dengan gotong royong kita yakin pilkada serentak 2018 akan bebas dari hoaks, kampanye hitam dan politisasi SARA,” katanya.
Demi Kepentingan Nasional
Pengamat media sosial dari Komunikonten Hariqo Wibawa Satria menjelaskan, bangsa lain sudah memaksimalkan media sosial untuk kepentingan nasionalnya dengan efektif. Misalnya Korea Selatan, Amerika, Inggris, Turki, India, dan China.
"Kita jangan sampai tertinggal, jangan sampai media sosial kita gunakan untuk saling memfitnah, dan melakukan penyalahgunaan isu SARA," katanya.
Dia menambahkan, kebiasaan saling memfitnah akan berbahaya jika tetap diteruskan. Artinya, bangsa Indonesia akan sulit maju. Itu karena, modal sejarah, budaya, agama yang sangat kuat namun akan rapuh jika terus menerus diserang kampanye hitam.
“Membangun gotong royong di media sosial dapat dimulai dengan kesadaran 1928. Kita ini sudah bersumpah bahwa kita adalah satu. Tujuan kita sama, yakni ingin menjadikan Indonesia maju dan menjadi tempat yang menyenangkan, membahagiakan bagi seluruh lapisan warga negara Indonesia,” jelas Hariqo.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement