Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mengejar tiga perusahaan tambang mineral pemegang status Kontrak Karya (KK) untuk melakukan amendemen kontrak dalam waktu dekat.
Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar mengatakan, Kementerian ESDM tidak akan memberikan kelonggaran amendemen kontrak lagi bagi tiga perusahaan tambang mineral pemegang KK yang belum melakukan amendemen kontrak.
Baca Juga
Advertisement
"Ada tiga hari ini, tapi enggak ada ampun, harus mengubah diri," kata Arcandra di Jakarta, Kamis (23/3/2018).
Menurut Arcandra, Kementerian ESDM sudah berbicara dengan tiga perusahaan tersebut. Targetnya pekan depan sudah ada keputusan amendemen kontrak.
"Tambang, enggak mau mengubah jadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dari Kontrak Karya. Minggu depan harus keputusan," tegasnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Gatot mengungkapkan, setelah pertemuan dilakukan, sudah ada dua perusahaan yang mau melakukan amendemen kontraknya. Adapun satu perusahaan belum ada iktikad mengamendemen kontrak.
"Kalau tandatangan cuma dua, satu belum. Akhirnya perusahaan nurut. Yang belum karena banyak belum bisa menerima," dia menjelaskan.
Amendemen kontrak merupakan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara. Ada enam poin yang diamendemen dalam ketetapan tersebut, yaitu penciutan luas wilayah pertambangan, pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter), pelepasan saham (divestasi) 51 persen ke pihak nasional, perubahan status Kontrak Karya menjadi IUPK, peningkatan penerimaan negara, dan peningkatan kandungan dalam negeri.
3 Masalah Ketenagakerjaan di Freeport Indonesia
Sebanyak 700 pekerja PT Freeport Indonesia tengah menunggu kejelasan nasibnya usai dirumahkan dan di-PHK. Hal tersebut merupakan temuan dari lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Lokataru.
Pendiri Lokataru, Haris Azhar mengatakan, ada tiga hal yang menjadi pemicu masalah ketenagakerjaan di perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut. Pertama, adanya konflik kepentingan di internal perusahaan.
"Ini sepertinya ada perang pengaruh dalam internal Freeport. Ada orang yang ingin menunjukkan bahwa siapa yang mengontrol karyawan. Ini sedang ada pertarungan menuju FI 1 (Jabatan Direktur Utama Freeport Indonesia)," ujar dia di Jakarta, pada 11 Maret 2018.
Kedua, Freeport beralasan keputusan untuk merumahkan dan memberhentikan pekerjanya lantaran dipicu oleh kebijakan pemerintah soal ekspor konsentrat. Keputusan tersebut dianggap sebagai senjata Freeport untuk melawan kebijakan pemerintah Indonesia.
"Kedua, juga ada upaya tekanan dari Freeport kepada pemerintah Indonesia, karena masa jangka waktu untuk mengikuti UU sudah lewat. UU minerba kan disahkan 2009, dikasih jangka waktu beberapa tahun perusahaan minerba untuk menyesuaikan diri," kata dia.
"PT Freeport ini kan rezim kontrak karya, UU Minerba ini berubah jadi rezim izin. Freeport tidak mau rezim izin, mau tetap kontrak karya. Kalau tetap dipaksa, nih pecat warga negara kamu," tambahnya.
Ketiga, Haris melihat manajemen Freeport juga ingin menyingkirkan keberadaan serikat pekerja di perusahaannya. Hal ini karena keberadaan serikat pekerja dinilai menjadi hambatan bagi perusahaan.
"Mereka lagi mau menyingkirkan serikat pekerja, karena dalam kebijakan furlough (merumahkan pekerja), hanya mengena ke yang merupakan aktivis pekerja. Kenapa mau dihilangkan? Karena keberhasilan dari serikat pekerja seperti pada 2011 menaikkan gaji hingga 40 persen," tandas dia.
Advertisement