Liputan6.com, Washington DC - Pemerintahan Presiden Donald Trump mengumumkan rencana pemberian sanksi ekonomi terhadap China pada Kamis, 20 Maret 2018.
Rencana pemberian sanksi tersebut, menurut Trump, disampaikan sebagai tanggapan atas dugaan China mendorong pencurian dan transfer kekayaan intelektual dari pelaku bisnis Amerika Serikat (AS).
Dilansir dari BBC pada Kamis (22/3/2018), Gedung Putih mengatakan rencana tersebut diambil setelah melalui pembahasan bertahun-tahun, yang tidak juga menemui titik temu.
Nantinya, rencana pemberian sanksi itu juga mencakup isu ketimpangan tarif perdagangan di antara kedua negara. Namun, oleh beberapa pihak, rencana tersebut dikhawatirkan memicu perang dagang yang lebih luas antara AS dan China.
Baca Juga
Advertisement
Menurut laporan media AS, Gedung Putih mempertimbangkan secara hukum pemberian sanksi terhadap ketimpangan senilai antara US$ 30 – 60 miliar, serta beberapa langkah membatasi investasi China untuk sementara waktu.
Ada pula kemungkinan Presiden Donald Trump akan mengadukan skandal ini ke Organisasi Perdagangan Dunia.
Negosiator perdagangan papan atas Negeri Paman Sam, Robert Lighthizer, mengatakan kepada anggota Kongres pada hari Rabu, 21 Maret 2018, bahwa AS sedang mencari cara untuk memberi 'tekanan maksimum' kepada China, sekaligus memberi perlindungan lebih kepada pelaku industri dan konsumen dalam negeri.
Menurut Lighthizer, melindungi kekayaan intelektual sangat penting bagi ekonomi AS.
"Ini masalah, yang kami pikir, mungkin paling mendesak untuk dilakukan guna menyeimbangkan perdagangan," ujar Lighthizer.
Seorang pejabat perdagangan AS, mengatakan kepada media, bahwa AS memiliki bukti China menekan pelaku bisnis untuk membentuk kemitraan lokal saat memasuki pasar China, sebagai cara menekan mereka ke dalam transfer teknologi.
AS juga menemukan bukti bahwa China mengarahkan investasi di AS ke industri strategis, yang kemudian disusupi oleh serangan siber, berupa penyadapan dan transfer teknologi secara diam-diam.
Temuan ini berasal dari peninjauan praktik-praktik China yang diperintah oleh Presiden Donald Trump pada bulan Agustus lalu, yang dinamakan sebagai investigasi 301.
Pada bagian 301 dari UU Perdagangan AS, pemerintah telah memberikan dirinya wewenang untuk secara sepihak memberlakukan sanksi terhadap negara-negara yang memutuskan tidak berdagang secara adil.
Simak video tentang raksasa tekstil China yang membangun pabrik di Arkansas, Amerika Serikat berikut:
Muncul Kekhawatiran Tentang Ancaman Balik dari China
Sementara itu, muncul kekhawatiran di AS bahwa China tengah berupaya menjiplak teknologi yang dapat digunakan untuk tujuan militer.
Kongres juga menimbang undang-undang yang akan meningkatkan kekuatan pemerintah untuk meninjau kesepakatan bisnis luar negeri, seperti pada ancaman yang ditimbulkan oleh akuisisi perusahaan AS yang didukung oleh pemerintah China.
Tetapi beberapa politisi dan pelaku bisnis, termasuk pengecer, telah menyatakan keprihatinan tentang kemungkinan aksi balasan yang lebih berat dari China.
"Saya tengah berusaha menuntut pelanggaran hak intelektual yang dilakukan oleh China, dan meminta pertanggungjawaban mereka. China adalah mitra dagang penting, dan lebih baik mendiskusikan perubahan secara baik-baik, dibandingkan menghukum," ujar Erik Paulsen, seorang anggota Konggres dari Partai Republik yang mewakili negara bagian Minnesota, negara bagian yang kaya akan industri pangan.
Di lain kesematan, Lighthizer mengakui kemungkinan pembalasan oleh China, dan juga menyinggung bahwa sektor pertanian AS sangat rentan.
Namun ia menegaskan bahwa seharusnya ancaman tersebut tidak menghentikan AS dalam mengambil tindakan.
Sebelumnya, China telah mengatakan bahwa tidak akan ada pemenang dari perang dagang.
Pada hari Selasa, 20 Maret 2018, yang merupakan hari terakhir penyelenggaraan sidang tahunan Kongres Rakyat Nasional, Perdana Menteri China Le Keqiang mengatakan dia berharap kedua pihak bisa tetap tenang.
Le Keqiang juga mengatakan harapan agar AS akan mau mengurangi pembatasan ekspor barang berteknologi tinggi ke China.
Advertisement