Liputan6.com, Washington DC - Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah mengucapkan selamat kepada Vladimir Putin atas kemenangan telaknya dalam Pilpres Rusia yang digelar 18 Maret 2018. Langkah sang miliarder nyentrik menuai kritik dan kontroversi.
Itu karena, menurut kabar yang diperoleh The Washington Post, Kantor Penasihat Kepresidenan Bidang Keamanan Nasional jelas-jelas melarang Trump untuk melakukan hal tersebut, demikian seperti dikutip dari BBC (21/3/2018).
Namun, melalui akun Twitter pribadi, Donald Trump justru membeberkan hasil sambungan teleponnya dengan Putin.
"Saya sudah menelepon Presiden Rusia Putin untuk mengucapkan selamat atas kemenangannya dalam pilpres," tulis Trump dalam akun Twitter pribadinya, @realDonaldTrump pada 21 Maret 2018.
Baca Juga
Advertisement
Sebagai justifikasi atas langkah yang ia perbuat, dalam unggahan yang sama, Trump menulis bahwa Presiden Barack Obama juga pernah melakukan hal yang sama kala Putin memenangi Pilpres Rusia 2012.
"Dulu, Obama juga meneleponnya," tulis Trump.
Lebih lanjut, ia menulis, "Para media 'Fake News' panik bukan kepalang karena mereka ingin saya mengutuknya (Putin). Mereka salah. Menjalin hubungan yang baik dengan Rusia (dan lainnya) adalah hal baik, bukan buruk".
Dalam unggahan berikutnya, Trump juga mengatakan bahwa Rusia "Mampu membantu memecahkan masalah seputar Korea Utara, Suriah, Ukraina, ISIS, Iran, dan perlombaan pembuatan senjata."
Sementara itu, saat bertemu dengan para koresponden pers Gedung Putih, Trump juga mendoakan Putin agar lancar menjabat sebagai Presiden Rusia untuk kedua kali dalam periode berturut-turut.
Di sisi lain, Kremlin menjelaskan bahwa sambungan telepon Donald Trump - Vladimir Putin 'konstruktif dan bersifat bisnis' serta berharap agar komunikasi tersebut 'mampu membantu menyelesaikan masalah antara kedua negara'.
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Padahal Dilarang...
Seperti dilansir dari The Washington Post, langkah Donald Trump yang mengucapkan selamat kepada Vladimir Putin bertentangan dengan imbauan dari Kantor Penasihat Kepresidenan Bidang Keamanan Nasional.
Dalam sebuah rapat rutin yang terselenggara di Gedung Putih pekan ini, seorang Staf Penasihat Kepresidenan Bidang Keamanan Nasional menulis sebuah memo yang berisi materi tentang Pilpres Rusia 2018 dan kemenangan Vladimir Putin.
Pada salah satu bagian memo, terpampang kalimat dalam huruf kapital yang bertuliskan; "JANGAN MENGUCAPKAN SELAMAT".
Memo itu juga berisi materi agar Trump mengutuk dugaan keterlibatan Rusia pada serangan racun terhadap dua orang residen Inggris di Salisbury, London, yakni; Sergei Skripal dan Yulia Skripal.
Sergei diketahui sebagai eks-warga negara dan agen intelijen Rusia yang membelot ke Inggris, demi menghindari hukuman pidana di Negeri Beruang Merah. Kremlin menuduh Skripal sebagai agen ganda, yang menjual informasi intelijen Rusia kepada Inggris.
Isi Memo Bocor?
Isi materi memo itu diduga dibocorkan oleh dua pejabat Gedung Putih yang familiar dengan kinerja Kantor Penasihat Kepresidenan Bidang Keamanan Nasional, tulis The Washington Post.
Kendati demikian, seorang pejabat yang dekat dengan HR McMaster, Kepala Penasihat Kepresidenan Bidang Keamanan Nasional menyangsikan eksistensi memo itu. Ia juga menjelaskan bahwa McMaster tak pernah memerintahkan stafnya untuk menulis memo tersebut.
Terlepas ada tidaknya memo tersebut, langkah Trump yang mengucapkan selamat kepada Putin menuai komentar yang ambivalen dari berbagai politisi AS dan dunia.
Senator John McCain (Republik) menulis di Twitter, "Tak sepatutnya Presiden AS, yang memimpin negara bebas, mengucapkan selamat kepada diktator yang memenangi pemilu dengan manipulatif. Dengan melakukan itu, Trump justru menghina setiap warga Rusia yang memperjuangkan pemilu yang bersih, bebas, dan adil."
Di sisi lain, Senator Bob Corker (Republik) mengatakan, "Ia juga pernah mengucapkan selamat kepada pemimpin negara lain yang lebih otoriter. Jadi, saya tak mau banyak memikirkannya."
Langkah Trump yang mengutarakan selamat kepada Putin tampak menunjukkan sikapnya yang tak mempedulikan proses penyelidikan Kementerian Hukum dan Kehakiman AS atas dugaan skandal campur tangan Rusia dalam Pilpres AS 2016 atau populer disebut Russian Meddling.
Sementara itu, Pilpres Rusia telah menuai banyak kritik dari berbagai pengamat politik dunia. Ada yang menyebut pemilu itu hanya kedok semata, karena, Putin telah sejak lama mengonsolidasikan kekuasaan guna kembali menjabat sebagai presiden Rusia untuk kedua kali berturut-turut selama 6 tahun.
Tak hanya itu, tendensi represi yang dilakukan oleh pemerintahan Putin, dengan menggembosi oposisi seperti; Alexei Navalny, juga turut mencemari imparsialitas Pilpres Rusia 2018.
Advertisement