Mengenal Kesederhanaan Emi Nomleni, Perempuan Hebat NTT

Sekilas tidak ada yang berbeda dari rumah bercat hijau itu. Sama seperti rumah lain di pinggir Jalan Cak Doko, Kota Kupang, rumah itu seakan menyerap semua kebisingan ibukota NTT.

oleh Amar Ola Keda diperbarui 23 Mar 2018, 10:40 WIB
Emilia Nomleni (istimewa)

Liputan6.com, Kupang- Sekilas tidak ada yang berbeda dari rumah bercat hijau itu. Sama seperti rumah lain di pinggir Jalan Cak Doko, Kota Kupang, rumah itu seakan menyerap semua kebisingan ibukota NTT.

Satu-satunya yang membuat berbeda adalah spanduk di depannya yang bertuliskan 'Marianus Sae-Emilia Nomleni (MaMa). Ya, rumah sederhana itu adalah tempat tinggal Mama Emi, sapaan akrab Cawagub NTT tersebut.

"Ini rumah tua warisan Bapak dan Mama," kata Ivony Christina Nomleni, kakak kandung Mama Emi, di rumah yang tak jauh dari SMAN 1 Kupang, Rabu (22/3/2018).

Beberapa bagian di dinding rumah bercat hijau itu pun tampak sudah retak. Sungguh rumah yang sangat sederhana jika dibanding tempat tinggal para pejabat atau politisi lain.

"Kita bukannya tidak mau rehab. Tapi kita mau suasana rumah ini terlihat alami, seperti sewaktu masih ada Bapak dan Mama," kata Ivony.

Walau sederhana, isi rumah ini lebih ramai dari yang dibayangkan. Di rumah tak lebih dari 200 meter persegi itu, Mama Emi tinggal bersama sepuluh saudaranya. Ada juga anak-anak asuh yang tinggal bersama.

Layaknya rumah seorang politikus, ada juga tempat untuk berkumpul dan rapat. Tempat yang sekarang banyak digunakan relawan MaMa itu pun hanya disanggah oleh bambu berwarna kuning. Sementara di bagian luar rumah didirikan tenda sampai ke tempat berjualan di pinggir jalan.

Yanti (45), ibu penjual gorengan di depan rumah Mama Emi, becerita kesederahaan politisi perempuan PDI Perjuangan itu juga tampak dari kehidupannya sehari-hari. Dia mengenang, sewaktu terjadi banjir di Noelmina, Mama Emi tampil berbeda saat mengunjungi lokasi bencana.

"Karena situasi mendadak dan darurat, Mama Emi pergi mengenakan celana pendek. Sampai di sana, sebagian besar pejabat lain mengenakan pakaian yang sangat rapi," kata Yanti sambil tertawa.

Yanti yang sudah berjualan 18 tahun di depan rumah Mama Emi juga senang jika perempuan berambut putih tersebut pergi ke pasar. Sebab, dia akan membeli sesuatu ke pedagang dengan sama rata.

"Maksudnya kalau membeli lima kilogram daging, dia akan membeli di lima penjual. Masing-masing satu kilo. Biar semua rasa," kata Yanti.

"Sebagai seorang pedagang, saya merasakan betul kesenangan yang dirasakan para pedagang pasar itu," imbuhnya sambil tertawa.

Selain kesederhanaan, Mama Emi juga tidak berubah dalam memegang adat dan budaya Timor. Hal ini tampak dari buah-buah pinang yang berhamburan di dapur rumahnya.

"Dia (Mama Emi) tetap mengingat budaya dan kebiasaan kami. Lempengan buah pinang itu memberi arti kami tetap hidup dalam rumah yang selalu memegang teguh budaya dan adat istiadat kami," kata Ivony.

Sejak kecil, Mama Emi juga selalu hidup dalam keberagaman. Hal inilah yang membuat perempuan 52 tahun itu selalu mengedepankan pluralisme dan kebhinekaan dalam setiap perjuangan politiknya.

"Bapak kami dari suku Timor, Mama dari Kupang. Kami biasa mendiskusikan sesuatu dengan sikap terbuka. Kami tidak pernah memaksa sesuatu kepada yang lain untuk diikuti. Kami belajar itu dari kecil," kata Ivony.

"Jadi dari dulu, kami sudah alami indahnya keberagaman."

Meski disibukkan dengan urusan politik, Mama Emi yang sudah dua periode menjadi anggota DPRD NTT ini ternyata masih memerhatikan kebutuhan-kebutuhan detail dalam rumah. Dia juga masih suka memasak untuk saudara-saudara dan anak-anak asuhnya.

"Kalau pagi-pagi, dia biasa cek, apakah teh sudah disiapkan untuk anak-anak atau belum. Karena di rumah banyak orang, biasanya kami siapkan teh dalam ceret besar. Biar semua bisa dapat. Emi biasa cek hal-hal begitu," ujar Ivony.

"Walau sudah jadi anggota Dewan, dia tetap memasak, sebelum ke kantor. Masak juga harus dalam porsi banyak," kata Inovy sambil tertawa.

Sosok Mama Emi yang penuh terobosan dan perhatian membuat saudara-saudaranya tidak terlalu heran jika pada akhirnya Emi mencapai sebuah posisi yang baik dalam karier politiknya.

"Sekarang ini dia maju (Pilgub NTT), bagi kami biasa saja. Karena kita tahu jiwa pemimpin ada padanya dari dulu. Dia mau jadi bupati atau apa, kita tidak heran. Kalau kembali ke rumah, kita berkumpul lagi dan merasa tidak ada jarak," imbuhnya.

 

 


Kunjungi Pengrajin Sasando

Emilia Nomleni (Istimewa)

Tidak ada yang paling membahagiakan bagi Yeremias Augus Pah selain mendapat perhatian. Bagaimana tidak, sang maestro dan pengrajin Sasando ini telah menempuh jalan sunyi melestarikan seni tradisi hingga di usianya yang menginjak 78 tahun.

Kesunyian itu berubah menjadi haru ketika Emilia Julia Nomleni, Cawagub NTT datang mengunjungi rumahnya yang sangat sederhana di Oebelo, Kabupaten Kupang Tengah, NTT.

"Saya memang membaca di koran ada beberapa orang yang ingin maju jadi Gubernur dan Wakil Gubernur NTT. Kita tidak tahu siapa yang menang. Namun saya tetap bersyukur kepada Emilia Julia Nomleni, karena hanya dia satu-satunya kandidat yang mengunjungi rumah ini," kata Yeremias sambil terharu, Kamis (22/3).

Mendengar dentingan Sasando yang bening dan nyaring dari Yeremias, Mama Emi, sapaan Emilia, hanyut ke dalamnya. Perempuan berambut putih itu pun bernyanyi lagu 'Bolelebo' dan 'Di Doa Ibuku' dengan baik dalam iringan Sasando.

Setelah bernyanyi, Mama Emi menuju pondok tempat Yeremias membuat alat musik petik asal Pulau Rote tersebut. Seketika itu juga, Yeremias meletakkan daun lontar, bahan pembuat Sasando.

Mama Emi lalu duduk dan dengan seksama melihat Yeremias menganyam daun lontar tersebut. "Dulu, kalau saya bermain Sasando, pendeta dan jemaat mata terang," kata Yeremias kepada Mama Emi sambil menganyam.

Kepada pasangan Marianus Sae ini, Yeremias bercerita, pindah dari Rote ke Kupang pada 1955. "Karena di Rote tidak ada pengunjung. Saya pikir di Kupang lebih banyak pengunjung," ujarnya.

Setelah bercerita panjang lebar tentang jalan sunyi melestarikan Sasando, Yeremias pun mendapat pertanyaan dari Mama Emi.

"Apa makna Sasando bagi Bapak?" tanya Emi pada Yeremias.

Bagi Yeremias, Sasando adalah 'pemberi nafas.' "Awalnya saya kerjakan ini. Dari ketekunan, akhirnya saya berhasil menghidupi keluarga dengan alat musik ini," kisah Yeremias.

Tidak hanya itu, berbagai penghargaan yang terpajang di rumah Yeremias, menjadi bukti ketekunan dan konsistensinya melestarikan seni tradisi ini.

Yeremias pun yakin Sasando tidak akan pernah punah. Sebab, dia telah mewariskan seni tradisi ini kepada 5 orang anaknya.

"Bapak punya warisan luar biasa," kata Mama Emi memuji.

Secara khusus Mama Emi mengucapkan terima kasih pada Yeremias karena masih menjaga warisan leluhur. Sebuah jalan sunyi melestarikan seni tradisi di negeri tercinta ini.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya