Liputan6.com, Yogyakarta - Sajian 8 mantra yang dipentaskan akan hadir di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY) Senin 26 Maret 2018. Mantra yang disajikan dalam pentas teater klasik berjudul Mantra # 2019 ini memilih tema Nawa Praja Sena Panembah.
Penulis Mantra # 2019 Joko Santoso mengatakan mantra semacam sebuah prediksi yang akan terjadi dalam dunia politik di tahun 2019 mendatang. Melalui tema yang dibawanya itu, ia berharap agar negeri yang disebutnya sebagai Nuswantara ini dapat meraih kejayaannya seperti masa Majapahit.
"Namun dari sisi ekonominya saja karena mustahil untuk ekspansi dari segi geografis. Kejayaan eonomi Indonesia bisa dicapai melalui aspek maritim, agraris, dan niaga. Selain mengangkat carut marut saat ini dalam bentuk kebencian, adu domba, maraknya hoax dan fitnah," katanya di rumah budaya Emha Ainun Nadjib Jumat 23 Maret 2018.
Baca Juga
Advertisement
Sutradara CM Puntung Pudjadi menggabungkan seni aransemen musik oleh Gaung Kyan R Sidharta dan gerak tari oleh Gita Gilang menjadi pementasan yang layak ditonton. Ia berharap pementasan mantra sekitar 90 menit dapat menyentuh hati penonton.
"Kita semaksimal mungkin jadi tontonan bagus. Mantra-mantra bisa menyentuh hati para penonton kalo dihayati bener karena saya dengar musiknya mas Gaung sudah bisa menyentuh hati kita. Mantra itu sangat luar biasa," katanya.
Puntung pun mengakui dari delapan mantra yang digarapnya menjadi pementasan ini memiliki kesulitan masing masing. Namun ia yakin setiap mantra yang dipentaskan akan memiliki keunikan sendiri.
"Ada 8 mantra semua mantra susah. Ada Dadap Asrap itu Slow Tenang, Kala Cokro itu meledak-ledak. Kalo pengasihan ya bikin santai aja dangdutan mantra pelet itu," katanya.
Ritual hingga kesurupan
Mempersiapkan gelaran ini para peserta rela melakukan ritual khusus guna menyelesaikan pentas ini. Aura kejawaen sangat kental mulai dari yang ritual puasa, menyepi atau mengunjungi makam leluhur.
"Pengrawit akan memakai kostum motif poleng yang dikenal sebagai tolak bala. Penataan gamelan akan berbeda dengan biasa sesuai delapan cakra atau arah mata angin," katanya.
Ia pun sudah menyiapkan cara agar tidak lagi ada penonton yang kesurupan saat Mantra # 2019 dipentaskan seperti tahun lalu. Seperti mengatur alur pemantasan yang naik turun.
"Saya kasih urutan. Tahun lalu ada beberapa penonton kesurupan. Nah kita kasih jeda sehingga tidak spanneng nanti ada dagelan," katanya.
Menurutnya pemantasan mantra ini sangat kuat mempengaruhi penonton. Karena mantra sendiri memiliki pengaruh yang kuat jika dibacakan terus menerus.
"Dahulu kesurupan karena mungkin itu kalo dibacakan terus menerus jadi orang jadi trance makanya ketika mau naik tak kendorkan. Jadi tidak perlu pakai kesurupan," katanya.
Advertisement
Kekuatan Musik dan Tari
Penata musik Gaung Kyan mengakui memiliki tantangan yang berat saat menerima ajakan pementasan ini. Karena baginya ia belum memiliki kemampuan yang cukup untuk menerjamahkan 8 mantra itu.
"Ini berat dan membanggakan saya kira banyak komposer yang bagus tapi kenapa saya yang didawuhi pak Joko. Ini kesempatan saya," katanya.
Gaung mengaku memerlukan waktu yang panjang untuk meresapi setiap mantra yang diberikan kepadanya. Selama sebulan meresapi akhirnya ia menemukan roh musiknya termasuk ada mantra yang tidak ada musiknya sama sekali.
"Ada mantra yang intrepetasikan dan dialogkan dengan media wayang. Seperti saat dalang njantur. Seperti lagi mantra Holo Cokro ketika uruping blencong (Nyala lampu wayang) yang membuat musiknya itu," katanya.
Senada dengan musik gerak tari yang disajikan oleh Gita Gilang juga menghasilkan gerak sendiri. Sehingga pentas yang melibatkan 32 orang ini mampu menyihir penonton di TBY kelak.
"Pengasihan itu musiknya sangat dinamis dan ada gerak semi komedi. Jamas Holo Cokro itu memadukan ide Gaung dan Joko, Puntung semua penari diam tanpa gerak hanya nyala blencong," katanya.
Negosiasi dengan Tuhan
Cak Nun Supervisor Mantra # 2019 mengatakan mantra itu berarti susunan kata atau gerak atau apa pun yang boleh berakibat mencelakakan atau menyelamatkan. Sehingga makna yang luas ini bisa berarti mantra digunakan untuk negatif atau positif.
"Mantra bisa dilakukan untuk negatif positif, yang dilakukan Joko ini untuk optimis masa depan Indonesia. Perkara kabul ra kabul itu besok. Sekarang itu negosiasi lho saya negosiasi terus menerus," katanya.
Ia berharap pementasan ini dapat mendorong penonton untuk negosiasi ke Tuhan terkait nasib bangsa. Mantra # 2019 ini merupakan sarana untuk negosiasi kepada Tuhan agar negeri ini dapat selamat.
"Semoga ini mendorong kepada penonton untuk negosiasi ke tuhan terkait nasib negeri," katanya.
Termasuk ramalan atau asumsi Indonesia bubar di tahun 2030 itu. Negoasiasi ini penting agar tahun 2030 menjadi tahun Indonesia yang jauh dari sangkaan atau ramalan sebelumnya.
"Jangan salah sangka bukan Indonesia tidak ada, lalu tidak ada gedung-gedung ambruk semua, bukan, Indonesia yang sangat jaya. Gedung tinggi luar biasa, pertanian maju," katanya.
Simbol semar yang menjadi simbol pementasan juga sangat bagus menurutnya. Sebab empat tangan milik semar itu menandakan sosok Bethoro Guru yang juga perwujudan semar.
"Papat kan bethoro guru lha semar kan bethoro guru. Semar itu dua jabatan satu dewa tertinggi satu rakyat terkecil sekarang rakyat kudu ndewo sekarang. Jangan mau diapusi demokrasi barat dll," katanya.
Diketahui tiga dekade silam Mantra 1digelar di Asdrafi Jogja dengan mantra kanuragan. Beberapa tahun kemudian Mantra ke-2 digelar di Ndalem Notoprajan dan taun 2015 lalu digelar di PKKH UGM. Manta ke-4 ini akan digelar di TBY Senin 26 Maret 2018 secara gratis.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement