Liputan6.com, Jakarta - Politikus Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) saling serang kata di media. Ini merupakan buntut kesaksian Setya Novanto yang menyebut nama-nama penerima duit korupsi e-KTP atau KTP Elektronik. Publik pun gempar.
Terbaru, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Roy Suryo, membalas sindiran agar partainya 'cuci muka' terlebih dahulu sebelum menyebut PDIP melakukan upaya 'cuci tangan' atas kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP.
Advertisement
Roy meminta pihak yang menuding Demokrat harus 'cuci mulut' itu agar berkata-kata yang lebih baik.
"Kalau ada yang mengatakan cuci tangan, mengatakan cuci muka, lebih baik kita sebelum bicara, cuci mulut dulu," kata Roy di Hotel Alia, Cikini, Jakarta, Minggu (25/3/2018).
Saling serang penyataan antara kedua partai berpangkal pada kesaksian terdakwa kasus e-KTP, Setya Novanto. Dalam sidang pemeriksaannya, Novanto mengatakan dua politikus PDIP menerima aliran uang e-KTP.
Mereka adalah Menteri Sekertaris Kabinet Pramono Anung dan Menko Pembangungan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani. Setya Novanto mengatakan keduanya menerima 600 ribu dollar Amerika.
Bola liar dari persidangan lantas bergulir ke ranah politik. Awalnya, Sekjen PDIP, Hasto Kristyanto mengatakan tak mungkin kader PDIP terlibat korupsi e-KTP.
Ia menegaskan posisi politik PDI Perjuangan saat kasus e-KTP terjadi berada di luar pemerintahan yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY merupakan petinggi di Partai Demokrat kala itu dan sekarang menjadi Ketua Umumnya.
Ketua DPP Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean, menyebut pernyataan Hasto tidak bijak. Dia menilai Hasto menggiring masyarakat untuk menyalahkan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY.
Ferdinand menyebut hal itu sebagai upaya perbuatan cuci tangan atas kasus e-KTP yang sepatutnya tidak dilakukan.
"Itu adalah sebuah perbuatan cuci tangan yang tak patut dilakukan, terlebih menuding dan mengalihkan kesalahan kepada pihak lain," kata Ferdinand saat dihubungi Liputan6.com di Jakarta, Kamis (22/3/2018).
Dia berpendapat, korupsi tidak ditentukan oleh partai politik, baik oposisi ataupun penguasa.
"Jadi tidak ada kaitannya dengan posisi sebagai oposisi atau sebagai penguasa. Coba lihat jumlah kader PDIP yang ditangkap KPK saat beroposisi, sedikit apa banyak? Itu akan menjawab tesis Hasto yang hanya untuk cuci tangan," papar dia.
Lagi pula, lanjut dia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menyatakan tidak ada keterlibatan SBY dalam proyek e-KTP.
Ferdinand juga menyarankan agar partai pimpinan Megawati Soekarnoputri dapat meniru Partai Demokrat dalam menangani kadernya yang melakukan korupsi.
Oleh karena itu, dia meminta agar kader yang disebut oleh terdakwa kasus e-KTP Setya Novanto dapat bersiap membela diri untuk membuktikan tidak terlibat dalam kasus tersebut.
"Berhentikan dan biarkan hukum berjalan tanpa intervensi. Itulah moral yang baik dan pro pemberantasan korupsi," jelas Ferdinand.
Dari kubu lain, politisi PDIP Masinton Pasaribu membantah, PDIP ingin menyasarkan ke seseorang. Dia menyebut bahwa proyek tersebut memang berjalan pada pemerintahan sebelumnya.
"Kami enggak sikat siapa-siapa, mengaitkan dengan apa-apa. Kita cuma jelaskan e-KTP proyek besar yang berlangsung pada pemerintahan sebelumnya. Kalau kita ngomong designer, ya pemerintah sebelumnya," jelas Masinton.
Dia menilai, apa yang terjadi hari ini, ada pihak yang ingin menempatkan permasalahan e-KTP adalah salah PDIP.
"Ini kan ada yang mencoba persoalan e-KTP ini seakan-akan tanggung jawabnya PDIP," pungkas Masinton.
Berdampak ke 2019
Saling balas pernyataan antara PDIP dan Demokrat bisa berdampak hingga 2019. Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarief Hasan menyebut pernyataan PDIP sangat mengganggu partai pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY untuk berkoalisi di Pemilu 2019.
Dia menilai seharusnya PDIP tidak menyalahkan pemerintah sebelumnya mengenai persoalan kasus e-KTP. Namun, menyalahkan perorangan yang diduga melakukan tindak korupsi.
"Kalau dibilang mengganggu iya, sangat mengganggu," kata Syarief saat dihubungi di Jakarta, Jumat 23 Maret 2018.
Kendati begitu, dia mengatakan koalisi antara PDIP dan Demokrat masih bisa terjalin. Syarief beralasan tidak ada yang pasti di kancah politik.
"Kemungkinan-kemungkiman masih ada, bisa iya dan tidak (untuk koalisi)," jelas Syarief.
Pihak PDIP juga masih optimis. Ketua DPP PDIP Arteria Dahlan menyebut partai pimpinan Megawati Soekarnoputri dan Partai Demokrat masih membuka koalisi jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Meski kedua partai tersebut sempat saling tuding, terkait pernyataan Setya Novanto yang menyebut Puan Maharani dan Pramono Anung diduga terlibat kasus e-KTP.
Dia menyebut kedua partai tersebut hingga saat ini masih menjalin hubungan yang baik. Meskipun, sebelumnya terlihat saling menuding mengenai kasus proyek e-KTP.
"Masih ada, masih terbuka, kita sama sekali enggak ada masalah. Yang kita kedepankan adalah bagaimana Pak Jokowi bisa terpilih lagi, itu tujuan lebih besar partai politik sekarang ini," kata Arteria saat dihubungi di Jakarta, Jumat (23/3/2018).
Selanjutnya, dia menambahkan mengenai koalisi dan pernyataan kasus e-KTP merupakan dua hal yang terpisah. Dengan begitu, tidak dapat dikaitkan satu sama lain.
"Politik itu sangat dinamis dan sangat dewasa, tidak mungkin karena ada noda seperti itu kita tiba-tiba berhenti," ucapnya.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengimbau PDIP dan Demokrat menahan diri sambil memastikan para kadernya tak terlibat dalam kasus yang merugikan negara triliunan rupiah itu.
"Bukan justru saling menuduh bahwa partai lain adalah partai yang paling korup," kata Juru bicara PSI, Dini Shanti Purwono, Jumat (23/3).
Dia mengatakan, PDIP dan Demokrat adalah dua partai besar yang perilakunya menjadi rujukan rakyat Indonesia. Pihaknya khawatir perseteruan terbuka antara dua partai besar tersebut bukan saja memecah bangsa, namun juga bisa memperlemah upaya melawan korupsi
Advertisement
Kesaksian Ara
Politikus PDIP Maruarar Sirait mengomentari manuver mantan Ketua DPR Setya Novanto yang menyebut Puan Maharani dan Pramono Anung menerima aliran dana korupsi e-KTP. Dia meminta semua pihak menghormati proses hukum.
"Pertama kita harus hormati proses hukum. Kedua, KPK adalah lembaga yang sangat dipercaya publik, jadi berbagai survei itu sangat dipercaya publik. Ketiga, hukum tak boleh diintervensi," ujar pria yang akrab disapa Ara di bilangan Senayan, Jakarta, Jumat (23/3/2018).
Lebih dari itu, Ara mengaku cukup mengenal Puan dan Pramono. Apalagi mereka pernah bersama-sama menjadi anggota dewan dari Fraksi PDIP. Bahkan ketiganya juga menjabat sebagai pengurus di DPP PDIP.
"Yang saya tahu dan yakini, mereka (Puan dan Pramono) punya integritas yang baik, itu yang saya tahu," tutur dia.
Meski begitu, Ara meminta semua pihak tetap menghormati proses hukum yang berlaku. Dia juga menegaskan bahwa hukum tidak bisa diintervensi siapapun.
Dia tak terlalu ambil pusing pernyataan Setnov yang menyebut Puan dan Pramono menerima aliran dana korupsi e-KTP. Ia percaya lembaga penegak hukum sekelas KPK bersikap profesional dalam menangani perkara.
"Kita yakin semua pasti ada kroscek dan verifikasinya dengan baik," Maruarar Sirait menandaskan.