Liputan6.com, Muna - Hampir setahun lamanya, puluhan warga yang mendiami enam rumah di Desa Bangkali, Kecamaran Watopute, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, mencoba mengabaikan tanda alam. Puncaknya, Selasa, 27 Maret 2018, lubang menganga terjadi di bawah enam rumah warga tersebut.
Kondisi terparah dialami dua rumah di antaranya. Lubang berdiameter 5 meter terbentuk dengan kedalaman diperkirakan puluhan meter usai hujan lebat mendera wilayah itu, akhir pekan lalu.
Lebar lubang yang terbentuk karena runtuhan tidak terlalu diragukan warga. Sebab, masih bisa dilihat serta diukur untuk memperkirakan potensi ancaman yang datang.
Baca Juga
Advertisement
Namun, kedalaman lubang yang sukar diprediksi dan tak mampu dijangkau alat pengukur, membuat warga was-was. Jika memaksakan tinggal, bisa-bisa warga akan tertimbun oleh runtuhan tanah secara tiba-tiba dan hilang ke dalam tanah.
"Kami juga heran, kenapa ini bisa terjadi. Padahal kan sebenarnya lokasi ini tanah keras, ada pula batu-batunya, tapi bingung juga," ujar salah satu korban longsoran, La Ode Tanini, Selasa, 27 Maret 2018.
Bersama La Ode Tanini, ada lima pemilik rumah lainnya yang menjadi korban, yakni La Ode Ruji, Anas T, Herjon, Wa Ode Haluni dan La Dolo.
Kondisi terparah itu dialami rumah keluarga La Ode Ruji dan Herjon. Lantai dan tembok rumah nyaris habis masuk ke dalam tanah.
"Untung ada pondasi yang menyangga rumah sehingga tidak masuk semua ke dalam tanah," kata La Ode Hanini.
Awal Bencana Dimulai
Pada akhir Mei 2017, tepatnya puasa Ramadan hari pertama, longsor terjadi di wilayah desa yang dilalui jalan lintas propinsi Sulawesi Tenggara itu. Saat itu, rumah La Ode Ruji yang terkena longsoran pertama kali.
Bapak tiga anak itu menuturkan, longsor saat itu membentuk lubang berdiameter dua meter dengan kedalaman tiga meter. "Saya waktu itu lalu belikan batu gunung, kemudian saya timbun dan padatkan lubang itu, saya pikir masalah akan selesai," ujar La Ode Ruji.
Tiga bulan kemudian, longsor kembali terjadi. La Ruji kembali menimbun lubang dengan sedikit batu dan tanah sebab longsoran tidak terlalu parah.
Namun, dua bulan lalu, longsor terjadi lebih parah. Ia lalu membeli delapan kubik batu gunung. "Kemudian saya timbun lubang-lubang yang muncul, kemudian saya cor dan pondasi," kata pria yang berprofesi sebagai guru SD itu.
Terakhir, longsor kembali terjadi akhir pekan lalu di bawah rumah seluas 9 x 15 meter yang ditempatinya. Ia masih merinding membayangkan semua batu dan tanah timbunan yang berjumlah sekitar 11 kubik itu, ambles ke dalam tanah dan tidak pernah dilihatnya lagi.
"Kami juga bingung, kami ukur lebar lubang ada 5 meter. Tetapi, dalamnya ada belum kami ketahui karena sempat buang batu yang diikat sepanjang 18 meter, tidak sampai ke dasar lubang," ujar La Ruji.
Yang lebih menakutkan warga, retakan tanah di sekitar enam rumah itu, panjangnya bervariasi. Mulai dari 10 hingga 50 meter, retakan memanjang dari depan hingga belakang rumah.
Advertisement
Bekas Kali Bawah Tanah?
Sementara itu, Camat Watopute Ali Fakara menerangkan, dahulu di sekitar desa di bawah lokasi terjadinya tanah longsor, ada saluran air bawah tanah. Saking besarnya, aliran air bawah tanah mampu menghanyutkan kayu yang diikat hingga menuju ke laut.
"Kata orang-orang tua di wilayah itu, ada aliran kali besar, mereka pernah lihat itu. Tapi, kami yang hidup sekarang ini belum pernah menemukan kali itu," ujar Ali.
Ia mengungkapkan kali besar bawah tanah itu, mengalir hingga ke dalam saluran air yang terletak dibawah perbukitan di wilayah Desa Bangkali. Sebelum ada proyek drainase pemerintah, air yang mengalir di depan rumah warga itu diduga mengalir menuju ke saluran yang terletak di bawah perbukitan.
"Di bawah bukit-bukit itu dulunya menampung air hujan, sebab pada saat hujan ada genangan di lereng bukit. Selesai hujan, genangan itu langsung surut tiba-tiba," ujarnya.
La Ruji, warga korban longsor mengatakan, enam unit rumah ini berada dekat dengan pertemuan dua arus drainase jalan poros. Jika hujan, air hujan yang tertampung di drainase dari dua arah yang berbeda, bertumpuk di sebuah tempat yang dekat dengan lokasi enam rumah korban longsor.
"Air yang penuh kemudian menggenangi rumah kami, mungkin itu salah satu penyebab utamanya," kata La Ruji.
Sejak kejadian, La Ruji dan lima kepala keluarga lainnya memilih menjauh dari rumah dan tidak mau balik untuk sementara. Pasalnya, setiap kali kendaraan roda empat melintasi jalan di samping rumah mereka, dinding rumah mengeluarkan bunyi yang terdengar horor di telinga.
"Rumah kaya mau runtuh dalam tanah," ujar La Ruji.
Mengungsi di Balai Desa
Sejak Minggu, 25 Maret 2018, warga yang rumahnya terkena longsor mengungsi ke rumah keluarga terdekat. Beberapa lainnya membangun tenda di balai desa.
"Sebagian tidak memiliki keluarga di wilayah ini, jadi tinggalnya di dalam tenda yang dibantu pemerintah," ujar Camat Watopute, Ali Fakara.
Ada tiga kepala keluarga membangun tenda di Balai Desa Bangkali. Belasan anggota keluarga tinggal di dalam tenda sederhana yang berisi perabotan rumah yang ikut diungsikan.
Ali mengaku masih mendata warga dan kerugian yang dialami. Selanjutnya, Rabu (28/3/2018), Dinas Sosial akan membawa logistik yang diperlukan warga.
"Sudah ditimbun sementara oleh pemerintah Kabupaten Muna, perhatian pemerintah untuk sementara sudah cukup, rumah warga diusahakan ditimbun batu dan tanah," ujar Camat Watopute.
Warga korban longsoran, La Ruji berharap rumah yang ditempatinya bisa segera direhabilitasi pemerintah daerah. Pemilik rumah yang berada tepat di depan jalan poros itu rata-rata merugi hingga ratusan juta. Pasalnya, selain menjadi tempat tinggal, juga ada dipakai menjadi kios dan toko barang aluminium.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement