BI Diminta Segera Membuat Aturan bagi Industri Fintech

Aturan fintech diharapkan menjadi prioritas Gubernur Bank Indonesia yang baru.

oleh Nurmayanti diperbarui 28 Mar 2018, 11:00 WIB
Ilustrasi fintech. Dok: sbs.ox.ac.uk

Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia (BI) diminta segera membuat aturan yang lebih jelas terkait keberadaan industri financial technology (fintech). Keberadaan industri fintech pada era globalisasi seperti saat ini, sulit terhindarkan sehingga membutuhkan aturan.

"Segera buatkan aturan yang baik, tidak memberatkan, tapi mudah dikontrol karena kan transaksi ini kan repot itemnya. Banyak juga enggak ngerti duitnya dari mana sebagainya seperti itu kurang lebih," kata Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan, Rabu (28/3/2018).

Namun demikian, Heri mengingatkan agar regulator membuat aturan yang nantinya tidak menimbulkan masalah baru. Serta tidak boleh menghambat perkembangan industri fintech.

Permintaan ini juga seiring dilakukannya uji kepatutan dan kelayanan (fit and proper test) Calon Gubernur BI. Aturan fintech diharapkan menjadi prioritas pimpinan BI yang baru.

"Tentunya BI dengan adanya deputi yang baru atau gubernur yang baru pastinya akan mengajukan. Kita harapkan bukannya kita menghambat sama sekali tidak tetapi transaksi ini kan melibatkan orang banyak jangan sampai nanti jadi masalah baru," dia menegaskan.

Dia berpandangan jika BI ke depan harus membuat aturan jelas yang berfungsi mengontrol transaksi keuangan industri fintech. Harapannya, keberadaan uang yang beredar pada industri ini bisa terpantau.

 "Kalau enggak bisa mengawasi jumlah uang yang beredar malah nanti tingkat inflansinya malah lebih repot begitu," dia menambahkan.

BI sebagai regulator dinilai sangat berperan sebagai katalist di industri fintech agar cashless society sebagaimana selalu disampaikan oleh Bapak Presiden Joko Widodo dapat segera terwujud.

Terlebih menjelang pelaksanaan Asian Games pada Agustus, periode April dan Mei menjadi momen yang paling tepat bagi Pemerintah dan Bank Indonesia untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia telah memasuki era cashless society. Sehingga negara ini siap menyelenggarakan Asian Games dengan tertib, lancar dan aman.

 


Ini Beda Urus Izin Fintech di BI dan OJK

Grafis distribusi ekosistem Fintech di Indonesia

Pertumbuhan era digital yang begitu pesat di Indonesia telah mengubah gaya hidup masyarakat, salah satunya terkait penggunaan uang tunai. Kini, lambat laun cashless society sudah terbentuk di masyarakat.

Perubahan sistem pembayaran digital ini memang sejalan dengan langkah Bank Indonesia yang menggiatkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) pada 2014.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), rata-rata nilai transaksi harian pengguna uang elektronik sepanjang 2017 mencapai Rp 60 miliar, atau naik 120 persen dibandingkan periode sama tahun 2016 yang hanya mencapai Rp 27,7 miliar.

Adanya gerakan nontunai tersebut turut mendorong pelaku startup masuk ke industri financial technology (fintech) di dalam negeri.

Direktur Eksekutif Asosiasi FinTech Indonesia (Aftech) Ajisatria Suleiman mengakui banyak perusahaan yang ingin terjun ke bisnis fintech. Dengan model bisnis berbeda-beda, mereka pun ingin mengurus izin beroperasi legal di Tanah Air.

"Banyak dan model bisnis berbeda-beda. Ada yang butuh izin BI, ada yang butuh izin OJK, dan ada juga yang harus lapor Kominfo. Tergantung bisnisnya," jelas Aji di Jakarta, Jumat (23/3/2018).

Dalam pengurusan izin, Aji mengakui ada kesulitan berbeda antara tiap regulator. OJK misalnya, terbilang lebih mudah dibanding dengan Bank Indonesia.

Selama ini, OJK lebih mendahulukan perizinan dan melihat operasional perusahaan selama satu tahun berjalan. Jika dalam perjalanannya perusahaan tersebut tak baik, maka izinnya akan dicabut.

"Sementara di BI itu pre-audit. Jadi di audit dulu perusahaan dan itu kan lama, akhirnya perusahaan juga tidak bisa berjalan. Kasihan perusahaan tidak bisa berjalan selama proses audit, itu lama. Kalau di OJK jalan dulu, sekaligus diaudit dan diberi waktu misalnya satu tahun," katanya

Beberapa perusahaan fintech yang harus mengurus izin ke BI adalah yang bergerak di bidang e-money, e-wallet, sistem pembayaran dan lainnya. Semuanya itu harus melewati beberapa tahap perizinan di bank sentral.

"Memang peer to peer landing yang izinnya ke OJK lebih mudah dan sekarang sudah ada sekitar 40 mendapat izin. Mungkin BI ada pertimbangan lain seperti makroprudensial, sistem pembayaran dan lainnya," dia menandaskan.

Ke depannya, dia berharap BI maupun OJk bisa mencarikan solusi agar perusahaan fintech ini tidak kesulitan mendapatkan perizinan.

"Harapan saya perizinan bahwa menilai layak izin atau tidak diterapkan sistem seperti OJK, artinya apply, beri saja dulu izin, beri waktu satu tahun apa kredible atau tidak. kalau tidak cabut izin saja," tegasnya.

Reporter: Idris Rusasi Putra

Sumber: Merdeka.com

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya