Liputan6.com, Jakarta - Makmur terdengar pasrah. Pedagang asal Sumatera Barat ini tidak bisa berbuat apa-apa dengan hasil Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman perwakilan DKI Jakarta yang menyebut adanya mala-administrasi di penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Jalan Jatibaru, Tanah Abang.
Singkat kata, lembaga yang mengurusi pelayanan publik itu meminta Jalan Jatibaru yang dialihfungsikan sebagai tempat berjualan para pedagang kembali ke fungsi awal sebagai jalan raya.
Advertisement
"Ini fasilitas umum, kan diserahkan ke pengguna umum, pejalan kaki, pembayar pajak. Dan posisi kita di sini dikasih di tempat pengalihan arus, ini saja bersyukur banget, alhamdulilah. Seandainya mau disterilikan lagi jalanannya, ya sterilikan saja," kata pedagang berusia 40 tahun itu kepada Liputan6.com, Rabu (28/3/2018)
Makmur adalah satu dari sekian pedagang Tanah Abang yang memilih Jalan Jatibaru, pemberian Pemprov DKI Jakarta, sebagai area berjualan. Sebelumnya, dia berjualan di Blok A Tanah Abang yang terbakar 2013 lalu.
Sejak itu, Makmur tidak memiliki lapak tetap untuk berjualan. Namun, harapan baru datang ketika Pemprov DKI Jakarta merancang Jalan Jatibaru diubah dari jalan raya ke lapak pedagang kaki lima.
Makmur mengakui, selama tiga bulan berjualan di lapak Jatibaru dia belum merasakan pendapatan setara di Blok A. Meski demikian, ada beberapa keuntungan karena lokasinya yang lebih mudah dijangkau ketimbang harus masuk ke area gedung pertokoan.
"Di sini lokasinya ya itu, strategis. Pengunjung lebih hapal mana langganan-langgananya. Dan mereka juga nyaman di sini enggak desak-desakan," ujar Makmur.
Awal pekan kemarin, Senin 28 Maret 2018, Ombudsman perwakilan DKI Jakarta menyerahkan Laporan Hasil Akhir Pemeriksaan (LHAP) terkait aduan pedagang Blok G mengenai alih fungsi Jalan Jatibaru menjadi tempat mangkal Pedagang Kaki Lima (PKL) sejak tiga bulan lalu.
Hasilnya cukup mengejutkan. Ada empat tindakan berpotensi malaadministrasi penataan Tanah Abang.
Pertama, Ombudsman menyebut penataan PKL di Tanah Abang dengan menutup sebagian Jalan Jatibaru merugikan pedagang Blok G secara ekonomi.
Hal itu tidak selaras dengan tugas Dinas UKM dan Perdagangan dalam melaksanakan pembangunan, pengembangan, dan pembinaan usaha mikro, kecil, dan menengah serta perdagangan sesuai Pergub DKI No 266 Tahun 2016.
Kedua, Anies dinilai telah menyalahi prosedur lantaran tidak mendapatkan izin dari pihak Direktorat Lalu Lintas Polda Metro untuk mengalihfungsikan lahan.
Hal ini telah tertuang dalam Pasal 128 ayat (3) UU No 22 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bahwa penggunaan jalan di luar untuk lalu lintas harus seizin Polri.
Diskresi yang menjadi dasar Anies melakukan penataan dinilai tidak sesuai dengan undang-undang yang ada dan mengabaikan Perda No 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2030, dan Perda No 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan pengaturan Zonasi DKI Jakarta 2030.
"Menurut hemat kami tidak tepat," kata Pelaksana tugas Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Dominikus Dalu, Senin 26 Maret 2018.
Temuan ketiga Ombudsman adalah, perbuatan melawan hukum dengan melakukan alih fungsi jalan. Penutupan Jalan Jati Baru disebut telah melanggar UU No 38 Tahun 2004 tentang jalan, UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Peraturan Pemerintah No 34 Tahun 2006 tentang Jalan, dan Perda DKI No 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
Terakhir, kebijakan Pemprov DKI Jakarta dinilai dinilai melanggar hak pejalan kaki dalam mengunakan trotoar.
Pemprov Belum Bersikap
Lantas, apa yang harus dilakukan Pemprov DKI Jakarta dengan hasil laporan tersebut?
Kepala Biro Hukum DKI Jakarta Yayan Yuhanah mengatakan, pihaknya belum menentukan langkah terkait hasil temuan Ombudsman Jakarta. Sebab, temuan tersebut masih bersifat laporan. Pemprov baru akan menindaklanjuti setelah ada rekomendasi.
"Kalau rekomendasi baru bisa kita tindaklanjut. Sekarang belum ada," ujar Yayan saat dikonfirmasi, Rabu (28/3/2018).
Sementara itu, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Sumarsono, menjelaskan, temuan Ombudsman perwakilan DKI Jakarta memang tidak memiliki sifat memaksa. Sifatnya hanya berbentuk laporan.
Meski demikian, Pemprov DKI Jakarta tidak serta merta boleh mengecilkan temuan yang digali dari berbagai pihak terkait, termasuk temuan di lapangan.
"Temuan itu sifatnya harus ada tindakan korektif dari pemerintah daerah. Di mana gubernur sebagai kepala daerah bisa diskusikan temuan tersebut dan dilakukan langkah-langkah koreksi dulu. Kalau ini sudah dilaksanakan, koreksi tidak bisa naik kelas ke rekomendasi," ujar Sumarsono kepada Liputan6.com, Rabu (28/3/2018).
Tindakan korektif yang dimaksud, dia melajutkan, tidak serta merta melaksanakan dari temuan itu, misalnya memfungsikan kembali Jalan Jatibaru sebagai jalan raya.
"Tidak seperti itu, tapi mengakui ada kekeliruan dan merancang langkah-langkah perbaikan dengan jangka waktu yang pemerintah daerah tentukan," jelas Sumarsono.
"Kalau itu (laporan) tidak dilaksanakan, namanya mengecilkan Ombudsman perwakilan daerah," mantan Plt Gubernur DKI Jakarta ini menambahkan.
Batas waktu koreksi yang diberikan adalah 30 hari sejak laporan diserahkan, Senin 26 Maret 2018. Apabila dalam jangka waktu itu Pemprov tidak merespons, maka laporan akan naik pada tahap rekomendasi.
"Artinya ini (rekomendasi) menunggu konsekuensi hukum, itu salah. Ibaratnya kalau siswa banyak ditegur guru kan pasti ada apa-apa, jadi hindari teguran," kata Sumarsono.
Terkait hal ini, Undang-Undang 23 tahun 2014 tentang Kepala Daerah jelas mengamanatkan bahwa setiap kepala daerah wajib melaksanakan rekomendasi Ombudsman.
"Kepala daerah yang tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman sebagai tindak lanjut pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan sanksi berupa pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan yang dilaksanakan oleh Kementerian serta tugas dan kewenangannya dilaksanakan oleh wakil kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk," demikian bunyi ayat 5 pasal 351 UU 23/2014.
Dengan kata lain, menurut Pelaksana tugas Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Dominikus Dalu, Gubernur Anies dapat dibebastugaskan. "Sanksi administratif itu bisa di-nonjobkan," kata dia.
Advertisement
Anies Kumpulkan Anak Buah
Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, pihaknya mengapresiasi Ombudsman DKI yang akhirnya aktif menjalankan tugas.
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan, pihaknya akan mengkaji laporan Ombudsman Jakarta terkait dugaan pelanggaran dalam penataan Tanah Abang.
"Kita akan respons lengkap, kita menghargai dan institusi Ombudsman rekomendasinya adalah rekomendasi yang kredibel. Karena itu kita akan review dengan SKPD kita akan rapatkan," jata Anies di Gedung DPRD DKI, Rabu (28/3/2018).
Apabila sudah selesai mengkaji dan membaca lengkap laporan tersebut, lanjut Anies, baru ia dapat membeberkan tindak lanjut yang akan diambil Pemprov.
"Kita lihat satu-satu dan dari situ kita kemudian lakukan tindak lanjut," ucapnya
Sepi Blok G, Ramai di Trotoar
Pelaksana Tugas (Plt.) Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya Dominikus Dalu mengatakan, dibukanya Jalan Jatibaru sebagai tempat PKL berdagang berdampak pada anjloknya pendapatan pedagang Blok G.
"Pedagang Pasar Blok G biasanya dapat Rp 10 juta per hari, sekarang Rp 3-4 juta per hari," kata Dominikus.
Tercatat ada seribuan pedagang. Namun, karena adanya pembukaan area berjualan di Jalan Jatibaru, sebagian berebut lapak di sana. Alasannya, Blok G sudah sepi dan tidak dilirik pengunjung.
Achmat (29), salah seorang pedagang jaket di lantai 2 Blok G menuturkan, tiga bulan lalu ia masih sibuk melayani pembeli jaketnya. Baik partai kecil atau grosiran.
" Ya gini-gini saja, mas. Sepi," ujar Achmat mengawali perbincangan dengan Liputan6.com, Rabu (28/3/2018).
Sebagian pedagang Blok G, kata Achmat, turun ke trotoar untuk berebut pembeli. Meski sewa lapak di bawah lebih mahal ketimbang di Blok G.
"Kalau depan-depan sana (trotoar) per bulan Rp 2 jutaan. Di sini Rp 150 ribu per bulan," ujar Achmat.
Sementara itu, kios Blok G yang ditempati pedagang hanya difungsikan sebagai gudang. "Di sini jadi gudang, tapi jualan enggak di sini, di trotoar, di jalan," ujar Achmat.
Meski demikian, Achmat tetap bersyukur meski sepi pembeli baginya pendapatan yang menutupi kebutuhan sehari-hari sudah cukup. "Ya yang penting rejeki mah ada aja," kata dia.