Liputan6.com, Toronto - Berhubungan seks selagi tidur biasa disebut dengan istilah 'seksomnia', yakni kegiatan seksual yang dilakukan secara tidak sadar, atau salah satu pihak memaksa pasangannya yang sedang tidur untuk bersenggama.
Dilansir dari Menshealth.com pada Rabu (28/3/2018), Ann Marie Chung dari Sleep Research Unit pada Universitas Kesehatan Toronto, menggambarkan seksomnia sebagai adegan penuh gairah dalam kondisi tidur lelap.
Hal ini bukan saja tertuju pada kegiatan seks saat tidur, namun juga bisa berupa masturbasi dan mimpi basah. Penyebabanya bisa dari pengaruh minuman beralkohol atau bisa juga akibat stres ringan.
Baca Juga
Advertisement
Namun, ada kalanya gejala seksomnia terjadi bukan karena kedua hal yang disebut di atas, dan hal ini perlu segera dikonsultasikan ke seksolog atau bisa juga ke psikolog.
Risiko terburuknya adalah seksomnia berasal dari gangguan jiwa. Hal ini pernah terungkap dalam beberapa kasus kecil, seseorang yang memiliki kecenderungan gairah seksual sangat tinggi (hyper sex) berawal dari gejala ini.
"Pada dasarnya tingkat gairah seseorang dapat diukur dan dikendalikan secara ilmiah. Jadi, tidak benar jika gairah seksual berlebih tidak dapat dikendalikan. Anda hanya perlu melakukan gabungan konsultasi medis dan psikologi secara berkala," jelas Ann Marie.
Pada pasangan yang telah menikah, gejala seksomnia dapat dijadikan alat untuk meningkatkan kualitas hubungan seks. Tentunya dari masing-masing pihak perlu dalam kondisi komunikasi yang harmonis, sehingga ketika tersadar, akan menganggap seksomnia sebagai 'dosa' yang indah.
Bagi pasangan usia paruh baya, gejala seksomnia konon diyakini mampu memperlambat 'turun mesin’ dalam kualitas hubungan seksual.
Simak video tentang robot seks pria yang pandai melawak berikut:
Berkaitan dengan Sleepwalking
Menurut beberapa ahli, seksomnia berkaitan dengan gejala tidur sambil berjalan (sleepwalking) dan mimpi seram.
Semua hal di atas termasuk ke dalam bentuk gangguan tidur yang dikenal dengan istilah parasomnia. Gejala ini, menurut Profesor Meir Kryger dari Universitas Yale, terjadi di bagian-bagian awal proses tidur lelap menuju nyenyak.
"Orang yang mengalami fenomena tidur sambil berjalan, terlihat seperti orang yang terjaga, namun faktanya tidak. Hal ini baru bisa diketahui secara pasti melalui penelitian gelombang otak mereka," jelas Profesor Kryger.
Gelombang otak adalah bagian otak yang mengendalikan penglihatan, gerakan, dan emosi yang tampaknya terjaga.
"Sementara area otak yang terlibat dalam memori, pengambilan keputusan dan pemikiran rasional tampak tetap dalam tidur nyenyak. Jadi orang-orang mungkin bisa berbicara, berjalan, makan, memasak, mengemudi atau bahkan berhubungan seks, tanpa kesadaran dan ingatan yang jelas," lanjutnya.
Advertisement