Kajian 'Papa Momong Mama Kerja' Melaju ke Amerika

Lantaran lebih siap secara ekonomi, para perempuan di Purbalingga lebih siap menjadi janda muda usia. Pemicunya adalah fenomena 'Papa Momong Mama Kerja'.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 01 Apr 2018, 08:01 WIB
Dua peneliti fenomena Pamong Praja di Purbalingga dengan pembimbing karya ilmiahnya. (Foto: Liputan6.com/Dinhubkominfo PBG/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Purbalingga - Pabrik rambut dan bulu mata palsu yang bertebaran di Purbalingga, Jawa Tengah, menciptakan fenomena baru, "papa momong dan perempuan atau mama kerja" (pamong praja).

Ketimpangan pendapatan ini juga menyebabkan banyaknya kasus perceraian. Tak aneh jika banyak muncul janda muda.

Akronim "pamong praja" merujuk pada realitas banyaknya perempuan muda yang bekerja sebagai buruh pabrik kerajinan bulu mata, rambut palsu dan garmen di Purbalingga, yang serapan tenaga kerjanya memang lebih banyak ke kaum perempuan.

Sebaliknya, tak banyak pabrik yang membutuhkan tenaga kerja pria. Akibatnya, suami justru lebih banyak mengurus rumah tangga, termasuk mengasuh anak.

Rupanya, fenomena pamong praja bisa juga menjadi pemicu pecahnya biduk rumah tangga. Contohnya, pada Juli 2017 saja, ada 90 kasus perceraian akibat ditinggal suami atau istri, dari seratusan lebih gugat carai.

Panitera Pengganti Kantor Pengadilan Agama Purbalingga, Nur Aflah, menyatakan 90 persen penyebab perceraian di Purbalingga disebabkan faktor ekonomi. Barangkali, lantaran lebih siap secara ekonomi, para perempuan lebih siap menjadi janda muda usia.


Fenomena Pamong Praja Diteliti 2 Pelajar

Banyaknya pabrik yang mempekerjakan perempuan menciptakan fenomena baru, Pamong Praja. (Foto: Liputan6.com/Dinhubkominfo PBG/Muhamad Ridlo)

Fenomena pamong praja ini menjadi ide besar yang kemudian dieksplorasi oleh dua siswi SMA Negeri 2 Purbalingga, Tara Belinda dan Putri Azizah Malik, menjadi karya ilmiah. Mereka berhasil melaju ke ajang bergengsi Intel International Science and Engineering Fair (Intel ISEF), Amerika Serikat.

Sebelumnya, dua siswi kelas 12 IPS 1 itu meraih peringkat ketiga di Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) dalam Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Dari 12 tim juara LKIR yang diadakan oleh LIPI, terpilih tujuh tim yang menjadi finalis Intel ISEF 2018, salah satunya tim dari SMA N 2 Purbalingga. Tim ini nantinya akan berlaga di Pittsburgh, Amerika Serikat, pada 13-18 Mei 2018 mendatang.

Tara memilih isu pamong praja sebagai karya ilmiah karena prihatin melihat fenomena yang terjadi di Purbalingga. Banyaknya pabrik di Purbalingga terutama pabrik rambut atau bulu mata ini ternyata menyedot para pekerja yang mayoritas perempuan.

Akibatnya, pola asuh anak pun kacau. Mama muda yang bekerja tak bisa mengasuh anaknya secara intensif.

Untuk mengetahui akibat pola asuh pada keluarga yang ibunya bekerja, mereka mendatangi keluarga tersebut dari rumah ke rumah. Mereka melakukan wawancara mendalam, baik terhadap ibu maupun bapak.

"Di sinilah kami mulai mengamati, bagaimana seorang ibu yang bekerja di pabrik memberikan pola asuhnya kepada ayah dan output dari anak itu sendiri bagaimana,” ucapnya, melalui keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Sabtu, 31 Maret 2018.

Diperlukan formula jitu untuk agar fenomena pamong praja tak berimbas pada pola asuh anak. Dia pun berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk masyarakat Purbalingga.


Persiapan 2 Pelajar untuk Berkompetisi di Intel ISEF, Pittsburgh

Banyaknya pabrik yang mempekerjakan perempuan menciptakan fenomena baru, Pamong Praja. (Foto: Liputan6.com/Dinhubkominfo PBG/Muhamad Ridlo)

Lantas, apa persiapan Tara dan Putri untuk berkompetisi di Intel ISEF?

Guru pembimbing karya ilmiah, Mita Puspita Sukmasari, menerangkan kedua siswa itu tetap berlatih meski di tengah Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN). Mereka harus bisa membagi antara waktu berlatih presentasi dan belajar.

Sebab, di Pittsburgh, Tara dan Putri bakal ditantang untuk menjelaskan secara detail kepada juri hasil penelitian yang mereka lakukan. Di sela waktu, mereka pun mesti menerangkan kepada pengunjung di pameran yang akan diadakan selama enam hari itu.

Kompetisi karya ilmiah internasional ini diikuti oleh 78 negara. “Enggak ada waktu lagi untuk berleha-leha. Ini sudah menjadi konsekuensi mereka ikut ajang ini. Mereka harus bisa membagi waktu antara belajar dan mempersiapkan diri menuju ajang bergengsi,” Mita menambahkan.

Soal materi, Mita berujar bahwa keduanya tak mengalami kendala. Pasalnya, Tara dan Putri sudah menguasai betul tiap detail materi.

Sebab itu, yang kini diasah betul adalah kemampuan bahasa Inggris. Komunikasi dalam bahasa Inggris itulah yang bakal menjadi faktor penentu lancarnya paparan mereka di depan juri maupun audiensi.

"Kesulitannya bagian komunikasi dengan banyak orang di sana karena kan semua menggunakan bahasa Inggris, jadi mau tidak mau mereka harus terus berlatih," dia menerangkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya