Liputan6.com, Jakarta Undang-Undang Pendidikan Kedokteran Nomor 20 Tahun 2013 belum dapat sepenuhnya menjamin mutu pendidikan kedokteran di Indonesia. Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Oetama Marsis, lulusan dokter di Indonesia, baik dokter umum maupun dokter spesialis tidak diimbangi dengan kompetensi atau kualitas ilmu yang dimilikinya.
Padahal itu merupakan salah satu tantangan bidang kesehatan yang harus dihadapi pada abad 21, terkait perubahan pola distribusi penyakit, gaya hidup dan lingkungan, serta semakin kuatnya perdagangan bebas dan globalisasi.
Advertisement
Marsis menilai, masyarakat pun belum mampu menikmati layanan dokter sepenuhnya. Ini dikarenakan distribusi dokter belum maksimal, penempatan dokter masih berpusat di Jakarta dan Pulau Jawa. Padahal masyarakat di berbagai daerah terpencil justru kekurangan dokter. Biaya menempuh pendidikan kedokteran juga mahal.
"Kami ingin orang miskin yang pandai bisa masuk jurusan kedokteran. Soal biaya harus ada standar wajarnya berapa," kata Marsis dalam acara "Aspirasi Bersama Dalam Revisi UU Pendidikan Kedokteran" di Gedung Nusantara I, DPR RI, Jakarta, Senin (2/4/2018).
Untuk mengatasi permasalahan dan mempersiapkan mutu pendidikan kedokteran yang lebih baik, komite bersama para dokter dan dokter gigi merasa UU Pendidikan Kedokteran No 20 Tahun 2013 perlu direvisi. Ada 14 butir pokok aspirasi yang dituangkan dalam pasal-pasal revisi tersebut, antara lain:
Saksikan juga video berikut ini:
Aspirasi Revisi RUU Pendidikan Kedokteran
1. Model pendidikan kedokteran di Indonesia
Saat ini, ada gap antara dokter yang sudah lulus dan pelaksanaan internship. Setelah dokter lulus, dia harus menunggu beberapa lama untuk internship.
Aturan itu dinilai memperpanjang masa studi. Dalam revisi terbaru, sebaiknya internship dilakukan langsung setelah dokter lulus. Artinya, tidak ada masa jeda menunggu internship lagi.
2. Pendirian Fakultas Kedokteran (FK) dan Fakultas Kedokteran Gigi (FKG)
Belum ada aturan tegas mengenai syarat pembentukan FK dan FKG pada UU Pendidikan Kedokteran No 20 Tahun 2013. Akibatnya, banyak didirikannya FK dan FKG yang belum memenuhi kaidah kedokteran.
Untuk mendirikan FK dan FKG perlu analisis berapa kebutuhan tenaga kedokteran. Jangan sampai berpotensi kelebihan FK. Misal, di pulau Jawa sudah ada 14 FK, lalu mau didirikan lagi. Padahal, di daerah lain masih sedikit FK.
Dalam revisi undang-undang, sanksi pendirian FK dan FKG yang tidak sesuai aturan kedokteran harus ditegakkan. Ada peringatan tertulis, pencabutan izin, dan penutupan FK dan FKG.
Advertisement
Seleksi Calon Mahasiswa
3. Seleksi calon mahasiswa
Saat ini, belum ada seleksi calon mahasiswa kedokteran yang mumpuni. Untuk itu, seleksi calon harus berasaskan keadilan juga akuntabililitas.
Pada seleksi calon mahasiswa, tes bakat harus diganti dengan tes kesehatan. Ini dikarenakan tes bakat tidak ada hubungannya dengan profesi sebagai dokter.
4. Pembiayaan pendidikan kedokteran
Biaya pendidikan kedokteran sangat tinggi dibandingkan program studi lain. Dalam revisi, ada biaya yang ditetapkan. Biaya harus mempertimbangkan ekonomi keluarga calon mahasiswa.
5. Standar kompetensi dokter dan pendidikan profesi dokter
Standar kompetensi perlu dikaji ulang. Standar kompetensi harus diimbangi dengan kualitas lulusan dokter.
Internship
6. Internship
Masa tunggu lulusan dokter yang ikut internship begitu lama. Perlindungan terhadap keamanan dan kesehatan dokter belum ada.
Dalam internship perlu ada badan yang mengawasi. Sistem pendidikan kedokteran jadi lebih terstruktur. Selain itu, internship termasuk proses pendidikan, bukan bekerja.
7. Uji kompetensi
Tiap tahun ada 2500-3000 lulusan dokter. Namun, syarat kelulusan dokter saat ini harus lulus uji kompetensi. Seharusnya syarat kelulusan dinilai dari proses belajar.
Untuk ikut uji kompetensi, dokter muda harus membayar biaya mahal. Uji kompetensi pun belum menjamin lulus. Jadi, dokter harus ikut berkali-kali uji kompetensi.
Dalam revisi, uji kompetensi dinilai bukan sebagai syarat penentu kelulusan.
Advertisement