Liputan6.com, Jakarta - Aksi korporasi Grab yang baru saja mengakuisisi unit bisnis Uber belum lama ini, dikhawatirkan bisa menambah angka pengangguran di Indonesia.
Hal tersebut disebabkan oleh pendeknya rentang waktu penutupan aplikasi Uber yang akan resmi ditutup mulai 8 April 2018, sehingga para pengemudi Uber akan kesulitan melakukan pendaftaran kepada Grab sebagai pemilik baru Uber dalam kurun waktu singkat tersebut.
Advertisement
Ketua Dewan Pakar Masyarakat Transportasi Indonesia, Danang Parikesit mengatakan, akuisisi Uber oleh Grab ini memang berdampak kepada para pengemudi Uber. Sebagai mitra, para pengemudi tidak memiliki pilihan lain untuk mengikuti aksi korporasi antara Grab dan Uber.
"Ini risiko di sisi mitra yang memang tidak bisa sepenuhnya diakomodasi operator," katanya.
Untuk itu, dia menilai Go-Jek sebagai pemilik aplikasi sejenis agar dapat turut berperan dalam menampung pengemudi Uber. Kepastian nasib pengemudi Uber ini sangat penting, terlepas dari persaingan sengit antara Go-Jek dan Grab.
Jika ada pengemudi Uber yang memilih bermitra dengan Go-Jek, lanjut Danang, seharusnya tidak menjadi masalah. Tinggal bagaimana kebijakan dari masing-masing operator. "Jadi apakah Go-Jek mau menyerap driver Uber atau tidak," ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Darmaningtyas, Ketua Institut Studi Transportasi (Instran). Menurutnya, jika para pengemudi Uber tidak terserap seluruhnya, akan mengurangi suplai transportasi online di lapangan.
Padahal, demand akan transportasi online jumlahnya terus bertambah seiring dengan makin banyaknya masyarakat yang memilih transportasi online karena lebih praktis ketimbang menggunakan kendaraan pribadi. "Jadi jika tidak terserap akan mengurangi suplai," katanya.
Go-Jek Turut Serta
Untuk itu, dia mendorong Go-Jek juga turut untuk ikut menyerap pengemudi Uber. Dengan demikian, masuknya pengemudi Uber ke Go-Jek tidak bertentangan dengan moratorium pengemudi online yang sempat disampaikan pemerintah, mengingat mereka sudah terdaftar sebelumnya sebagai pengemudi online.
Danang menambahkan, sebagai industri yang diatur oleh pemerintah (regulated market), seharusnya transaksi Uber dan Grab ini diketahui pemerintah sejak awal.
Dengan begitu, hal-hal seperti ini bisa diantisipasi. Karena selain menyangkut nasib ratusan ribu para pengemudi, juga akan mengganggu masyarakat pengguna transportasi.
"Yang jadi isu saat ini adalah apakah pelayanan publik terganggu, ini yang harus diperhatikan," tambahnya.
Advertisement
Grab Akuisisi Uber
Seperti diketahui, Senin (26/3/2018) pekan lalu, Grab resmi mengakuisisi Uber. Uber sepakat menjual bisnisnya di kawasan Asia Tenggara kepada Grab.
Sejumlah negara di Asia Tenggara yang aset dan operasional Uber akan segera dialihkan ke Grab adalah Kamboja, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam.
Sebagai bagian dari akusisi, Uber akan memiliki 27,5 persen saham di Grab dan Dara Khosrowshahi selaku CEO Uber akan bergabung dengan dewan direksi Grab.
Hengkangnya Uber dari wilayah Asia Tenggara menandakan layanan ride-sharing tersebut sudah menyerah tiga kali dalam bersaing dengan para kompetitornya.
Sebelum menjual layanan operasionalnya di Asia Tenggara ke Grab, Uber juga sempat melakukan hal serupa kepada kompetitornya di Didi Chuxing di Tiongkok dan Yandex di Rusia.
Reporter: Idris Rusadi Putra
Sumber: Merdeka.com
(Jek)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: