Ekonomi Global Diprediksi Naik 2 Kali pada 2050, Siapa Terbesar?

Perkembangan ekonomi global ini didorong dari peningkatan ekonomi di negara-negara berkembang.

oleh Vina A Muliana diperbarui 03 Apr 2018, 11:47 WIB
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi dunia (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta Perekonomian global akan semakin berkembang dari waktu ke waktu. Laporan terbaru yang dirilis Pricewaterhouse Coopers (PwC) memperlihatkan ukuran ekonomi global akan meningkat dua kali lipat pada 2050.

Perkembangan yang besar ini didorong dari peningkatan ekonomi di negara-negara berkembang. PwC menyebut, setidaknya ada tiga negara berkembang yang ditaksir bisa mengalami perkembangan ekonomi tercepat hingga 2050.

Mengutip laman Pwc.com, Selasa (3/4/2018), tiga negara tersebut adalah Vietnam, India dan Bangladesh. Tiga negara ini ditaksir bisa mengalami pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen hingga 2050.

Tak hanya itu, dari 15 negara dengan perkembangan perekonomian tercepat dalam 34 tahun terakhir, keseluruhannya merupakan negara berkembang.

Adapun 7 negara berkembang terbesar atau yang sering disebut dengan E7 akan mendominasi perkembangan PDB dunia pada 2050. Negara yang masuk dalam E7 adalah China, India, Brazil, Rusia, Indonesia, Meksiko dan Turki.

"Di tahun 2050, kami memproyeksikan bahwa porsi pengaruh negara E7 dalam PDB global akan meningkat hingga 50 persen. Pertumbuhan ekonomi global bakal dikendalikan oleh negara-negara ini," tulis laporan tersebut.

Pertumbuhan ekonomi E7 ditaksir mencapai 3,5 persen per tahun. Ini jauh lebih besar dibanding tahun 2016 yang hanya mencapai 1,5 persen.

Faktor pendorong pertumbuhan ekonomi ini adalah jumlah populasi yang besar. Meski demikian, jumlah lapangan pekerjaan yang cukup juga harus mampu dipastikan oleh pemerintah dengan adanya jumlah populasi yang besar ini.

Peringkat pertama negara dengan ekonomi terbesar akan ditempati oleh China. Sementara India akan mengalahkan Amerika Serikat dan duduk di posisi kedua.


Aksi Merger dan Akuisisi Global Cetak Rekor pada Kuartal I 2018

Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Aksi merger dan akuisisi global cukup besar sepanjang kuartal I 2018. Total nilai aksi merger dan akuisisi mencapai USD 1,2 triliiun atau sekitar Rp 16.503 triliun (asumsi kurs Rp 13.752 per dolar Amerika Serikat).

Maraknya aksi merger dan akuisisi ini seiring ada reformasi pajak Amerika Serikat (AS) dan pertumbuhan ekonomi di Eropa membuat banyak perusahaan melakukan kesepakatan.

Selain itu, bursa saham dan utang menguat serta kas perusahaan yang baik mendorong kepercayaan para manajemen perusahaan. Kondisi tersebut meyakinkan jajaran direksi perusahaan untuk melakukan merger dan kesepakatan pada saat yang baik dan tepat.

“Kejelasan tentang pajak telah membuka sejumlah aktivitas merger dan akuisisi yang secara strategis penting. Namun, perusahaan menunggu waktu dan keuangan yang tepat,” ujar Anu Aiyengar, Kepala Merger dan Akuisisi khusus Amerika Utara di JP Morgan Chase and Co, seperti dikutip dari laman CNBC, Sabtu (31/3/2018).

Nilai transaksi merger dan akuisis meningkat 67 persen pada kuartal I 2018. Namun secara jumlah kesepakatan turun 10 persen menjadi 10.338.

Di antara kesepakatan terbesar yang pernah dicapai pada kuartal I 2018 yaitu asuransi kesehatan AS Cigna Corp yang akuisisi jaringan farmasi AS Express Scripts Holding Co senilai USD 67 miliar atau sekitar Rp 921,46 triliun. Selain itu, perusahaan Jerman E.ON SE akuisisi bisnis energi terbarukan RWE AG senilai USD 38,5 miliar atau sekitar Rp 529,49 triliun.

 Volume merger dan akuisisi meningkat dua kali lipat di Eropa pada kuartal I 2018. Sementara itu, volume merger dan akuisisi meningkat 67 persen dan Asia naik 11 persen.

“Lingkungan makro ekonomi yang lebih baik di Eropa telah menciptakan kepercayaan diri lebih besar untuk menyelesaikan berbagai hal. Transaksi yang telah lama bekerja mulai membuahkan hasil dan beberapa industri sedang kembali terbentuk untuk konsolidasi terbaru,” ujar Borja Azpilicueta, Kepala Penasihat EMEA HSBC Holdings Plc.

Di AS, pasar saham AS tertekan sejak pengumuman Presiden AS Donald Trump mengenakan tarif impor barang China, membuat volatilitas pasar meningkat tetapi valuasi perusahaan masih tinggi.

“Perusahaan telah menjadi lebih agresif dalam mengejar transaksi terutama strategi yang kuat. Namun valuasi tetap tinggi dan direksi juga menjadi lebih hati-hati pada akuisisi besar karena lebih sulit untuk meyakinkan investor mereka tentang potensi penciptaan nilai sesuai dengan harga,” kata Gilberto Pozzi, Kepala Merger dan Akuisisi Global Goldman Sachs Group Inc.

Selain itu, risiko regulasi juga meningkat. Salah satunya intervensi Trump yang memblokir tawaran yang diajukan Singapura senilai USD 117 miliar kepada pembuat chip AS Qualcomm Inc dengan alasan keamanan nasional. Ini menekankan keprihatinan terhadap China dalam persaingan untuk teknologi baru.

“Dengan setiap lelang digunakan untuk melihat setidaknya satu peserta China. Sekarang orang-orang mempertanyakan kemampuan mereka untuk menyampsaikan dan sasar akan dorongan politik yang dapat dihadapi oleh penawar China,” kata Johannes Groeller, Mitra PJT Partners Inc.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya