Pesan Sederhana Toleransi dengan Kasidah Gereja

Alat musik, notasi, timbre, tone, ritme, dinamika dan semua yang terkait produksi musik, hakikatnya adalah netral dan tidak beragama.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 04 Apr 2018, 08:32 WIB
Selain rebana, juga memanfaatkan instrumen gamelan sebagai pelengkap. (foto : Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Purworejo - Memaknai toleransi bisa berwujud apa saja. Itu pesan utama yang hendak disampaikan warga desa Ngandagan, Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo saat merayakan Paskah.

Warga Katolik yang terhimpun di Gereja St Markus, Desa Ngandagan itu mendapat dukungan dari pastor Paroki St Yohanes Rasul Kutoarjo, Romo Matheus Widyo Lestari MSC. Maka hadirlah perayaan misa Paskah dengan iringan rebana.

"Secara notasi musikal memang berbeda dengan selawat yang terdengar di musala, tapi kami menyebutnya selawatan Katolik. Kalau selawat Nabi kan memuji kemuliaan Nabi Muhammad SAW. Nah, ini juga memuji kemuliaan Yesus," ucap Romo Widyo kepada Liputan6.com, Selasa, 3 April 2018.

Merespons total keinginan warga yang memiliki tradisi toleransi sejak zaman kuno, Romo Widyo mengakomodasi pemakaian rebana sebagai musik pengiring. Hal itu dilakukan karena hakikatnya musik itu universal. Apalagi alat musik, tak ada agama bagi alat musik.

"Memang biasanya gereja Katolik identik dengan organ klasik dan paduan suara model gregorian. Lah Kalau di Jawa ada samroh, ada selawat yang bisa kita manfaatkan sebagai bentuk penghormatan budaya, kenapa tidak?" kata Romo Widyo.

Bukan hanya membawa pesan damai keberagaman yang toleran, Romo Widyo Lestari menyebutkan bahwa makna kasidah sesungguhnya adalah sebuah bentuk puisi. Ia menyitir Kamus besar Bahasa Indonesia yang menyebutkan bahwa kasidah adalah bentuk puisi, berasal dari kesusastraan Arab, bersifat pujaan (satire, keagamaan), biasanya dinyanyikan (dilagukan).

Diakui memang ada yang mengartikan bahwa kasidah adalah bentuk syair epik kesusastraan Arab yang dinyanyikan. Penyanyi menyanyikan lirik berisi puji-pujian (dakwah keagamaan dan satire) untuk kaum muslim.

"Karena nada itu universal, irama, tone, timbre dan semua yang berakrab dengan musik itu netral, maka saya mencoba membumikan makna kasidah dari KBBI," katanya.

Perayaan paskah di gereja Santo Markus Pituruh juga dipilih bertemakan membentuk komunitas yang solider. Umat diajak merenung dan meneliti perilaku seputar tiga hal, yakni saling percaya, saling mendukung, dan saling menolong.

"Bisa terjadi kalau saling mengenal dan memahami. Muaranya adalah toleransi dan kerukunan juga theng theng crit atau thenguk-thenguk crita (nongkrong sambil bercerita)," katanya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 


Sederhana

Romo Widyo Lestari MSC, memimpin umat stasi santo Markus Pituruh Purworejo misa paskah dengan iringan kasidah. (foto: L:iputan6.com / edhie prayitno ige)

Sementara itu, Sukarman Ketua Stasi dari Desa Ngandagan menuturkan bahwa umat muslim dan Katolik sudah berdampingan saling membantu di desa ini. Misa Paskah yang memanfaatkan kesenian rebana yang hidup di desa itu sudah sejak lama dilakukan.

Menurut Sukarman, hanya akhir-akhir ini saja perbedaan menjadi masalah atau dipersoalkan. Namun, sejak ia kecil, di desanya tak pernah ada gesekan antaragama. Semua harmonis.

"Sejak saya kecil enggak pernah ada masalah kok," kata Sukarman.

Sedangkan Pariyun yang membidangi liturgi atau tata cara misa di Gereja Santo Markus menjelaskan bahwa secara liturgi tak ada masalah dengan liturgi. Kalaupun menggunakan rebana atau kasidah atau bahkan menggunakan istilah selawat itu untuk memudahkan saja.

"Secara liturgi, urut-urutannya juga sama dengan gereja lain. Tak ada masalah. Ini kan malah misa akulturasi," kata Pariyun.

Pada bagian lain, Romo Widyo Lestari yang dikenal sebagai aktivis Kerukunan Umat Beragama menjelaskan bahwa di stasi yang lain ia juga memimpin misa yang bahkan hanya dengan iringan tepuk tangan.

"Yesus mengajari hal-hal sederhana. Almasih itu membuka tabir perbedaan supaya saling mengasihi tanpa melihat apa latar belakang seseorang. Sama halnya dengan keluarga saya yang beragam. Ada yang muslim, ada yang Kejawen dan Katolik. Tapi, kami tak pernah mendiskusikan Tuhan, itu sudah selesai ketika seseorang dewasa dan memilih konsep ketuhanannya," kata Romo Widyo.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya