Magang Palsu di Luar Negeri, Siswa Kerja Hingga 18 Jam Sehari

Program magang palsu juga membuat siswa SMK yang ikut serta bekerja dengan jam kerja yang tidak wajar.

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 03 Apr 2018, 16:00 WIB
KPAI merekomendasikan untuk edukasi anti trafficking dan penegakan hukum terutama pemulihan untuk korban. (Foto: Liputan6.com/Giovani Dio Prasasti)

Liputan6.com, Jakarta Modus baru eksploitasi anak berupa program magang palsu di luar negeri yang ditemukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) membuat korbannya dipaksa bekerja tak sesuai keahlian. Tak hanya itu, program magang palsu juga memaksa siswa SMK yang ikut serta bekerja dengan jam kerja yang tidak wajar.

"Trafficking melalui modus penawaran magang palsu kepada sekolah-sekolah kejuruan untuk bekerja di luar negeri seperti Malaysia, dengan tindak eksploitasi yang kejam, seperti jam kerja hingga 18 jam per hari, gaji rendah, dan tidak diperlakukan manusiawi," ujar Ai Maryati, Komisioner Bidang Trafficking dan Eksploitasi Anak KPAI dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (4/3/2018).

Retno Listyarti, Komisioner Bidang Pendidikan KPAI menambahkan selain itu mereka juga tidak menggunakan visa kerja namun visa kunjungan. Pekerjaan yang diberikan juga tidak sesuai dengan kemampuan siswa-siswa sekolah kejuruan tersebut.

"Mereka merayu siswa secara mudah tanpa sertifikasi kompetensi alias pelatihan, menggunakan paspor dengan visa kunjungan, serta tanpa kartu tenaga kerja luar negeri," kata Retno.

Sekolah yang merasa bangga karena siswanya bekerja magang di luar negeri sebenarnya mengabaikan hak-hak anak.

"Menggunakan visa kunjungan, tidak adanya pelatihan, ini kan berarti ada hak anak yang terabaikan," tegas Retno. 

 

Saksikan juga video berikut ini:

 


Tidak sesuai perjanjian awal

Komisi Perlindungan Anak Indonesia umumkan modus baru eksploitasi anak dan trafficking dengan cara magang luar negeri, di Jakarta, Selasa (4/3/2018). (Foto: Liputan6.com/Giovani Dio Prasasti)

Di beberapa kasus, Retno mengungkapkan pekerjaan yang diterima juga tidak sesuai dengan perjanjian awal.

"Misalnya dia bidang elektro, tetapi ketika magang ditempatkan di kapal. Itu kan tidak sesuai dengan pendidikan yang sedang mereka tempuh," kata Retno.

Retno menambahkan, mereka juga dipaksa bekerja sekitar 18 jam dalam sehari.

"Ini sudah masuknya eksploitasi," ujar Retno.

Hal ini menjadi sulit dipantau oleh Kementerian Luar Negeri karena visa yang digunakan oleh para siswa magang merupakan visa kunjungan. Maka, KPAI meminta Kemenlu mewaspadai soal hal ini.

KPAI juga meminta KBRI untuk mengawasi program magang luar negeri semacam itu.

"Oleh karena itu, KPAI merekomendasikan agar perusahaan itu adalah perusahaan yang direkomendasikan oleh KBRI," tegas Retno.

Selain itu, visa kerja juga harus digunakan agar Kementerian Tenaga Kerja bisa ikut memantau jalannya program magang seperti ini.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya