Pasar Keuangan Stabil Meski Ada Kekhawatiran Perang Dagang AS-China

Bank Indonesia (BI) mengakui sempat ada kekhawatiran dampak buruk perang dagang yang sedang terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan China.

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Apr 2018, 16:51 WIB
Gubernur BI Agus Martowardojo memberi pidato saat pembukaan High - Level International Conference di Jakarta, Selasa (27/2). Konferensi internasional tingkat tinggi ini bertemakan "Models in a Changing Global Landscape". (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) mengakui sempat ada kekhawatiran dampak buruk perang dagang yang sedang terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan China.

Namun, Gubernur BI Agus Martowardojo menuturkan, kondisi pasar masih relatif stabil. Hal ini sesuai perkiraan dan ada kesepahaman.

"Kami lihat pasar jauh lebih stabil dan itu sesuai perkiraan. Kami juga sambut baik bahwa kalau kemarin ada kekhawatiran adanya Trade War, AS ambil posisi lalu China merespons dengan berikan bea masuk untuk 128 komoditas, tapi kami lihat arah untuk ada suatu kesepahaman itu ada," kata Agus saat ditemui di Gedung DPR RI, Selasa (3/4/2018).

Agus mengungkapkan, semua pihak terkait baik dari AS maupun China sudah mengambil langkah-langkah untuk mencari solusi.

"Dan kami dengar pejabat terkait semua optimis bahwa trade war akan diperoleh suatu solusi sehingga tidak perlu terjadi kondisi yang sama - sama kita tidak inginkan," ujar dia.

 Seperti diketahui, meskipun ada keberatan di seluruh dunia, pemerintah AS memutuskan untuk mengenakan tarif 25 persen untuk impor baja dan tarif 10 persen untuk impor aluminium, dengan tarif pada impor dari negara-negara termasuk China. Hal ini dikhawatirkan timbulkan perang dagang.

Menanggapi hal tersebut, China telah memutuskan untuk mengenakan tarif 15 persen atas lebih dari 120 produk-produk yang diimpor dari Amerika Serikat termasuk buah-buahan dan produk-produk terkait, serta tarif 25 persen untuk delapan item impor termasuk daging babi dan produk-produk terkait dari negara tersebut.

 

Reporter: Yayu Agustini

Sumber: Merdeka.com


RI Bakal Bertahan dari Imbas Perang Dagang AS-China?

Aktifitas kapal ekspor inpor di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (26/5). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus 1,24 miliar . (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Bank Dunia menilai terlalu cepat menyimpulkan perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS) berdampak negatif ke Indonesia.

Hal itu seperti disampaikan Direktur Bank Dunia untuk Indonesia dan Timur Leste, Rodrigo Chaves. Ia menilai, perang dagang AS dan China tidak akan berdampak signifikan terhadap ekonomi Indonesia. Ini lantaran sebagian besar ekonomi Indonesia didukung faktor dalam negeri.

"Terlalu cepat menyimpulkan terkait perang dagang ini. Tapi risikonya tetap akan prevailing. Merupakan hal yang penting menjaga hal ini dalam konteksnya masing masing. Dalam beberapa kasus, tidak akan signifikan, mengingat Indonesia digerakkan ekonomi dalam negeri," ujar Rodrigo di Gedung Energy Building, Jakarta, Selasa 27 Maret 2018.

Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara mengatakan, pemerintah akan terus memperhatikan dampak perang dagang antara China dan Amerika. Hal ini perlu dilakukan, mengingat keduanya merupakan mitra dagang Indonesia.

"Kita sangat memperhatikan apa yang terjadi di pasar internasional, pasar keuangan, potensi perang dagang ini. Jadi bagaimana kebijakan Amerika, apa yang akan dilakukan pada China, kemudian China memberikan respons seperti apa dan respons itu memiliki impact apa pada Indonesia," jelas dia.

Suahasil menambahkan, ke depan pemerintah akan berupaya tetap menjaga ekonomi Indonesia terutama ekspor tetap tumbuh.

Pemerintah juga akan mengupayakan kondisi Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) tetap kredibel dengan menjaga komponen ekonomi makro berada pada target yang ditetapkan.

"Kita akan terus jaga ekspor dan impor dari negara lain. Tapi kita perhatikan saja ke depan seperti apa. Kita juga pastikan kondisi APBN kredibel dan kondisi makro harus stabil mungkin,” ujar dia,

“Tetap kita ingin meningkatkan pertumbuhan kemudian menekan inflasi kita dan menjaga stabilitas dari kurs, sambil meningkatkan investasi dan mendukung ekspor," tambah dia.

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya