Aktivis di Myanmar Kritik Facebook Lamban Hentikan Ujaran Kebencian

Kelompok HAM Myanmar mengkritik respons CEO Facebook, Mark Zuckerberg, dalam menghentikan ujaran kebencian.

oleh Andina Librianty diperbarui 07 Apr 2018, 08:40 WIB
Ilustrasi Facebook (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah konsorsium kelompok masyarakat sipil, Hak Asasi Kemanusiaan (HAM) dan pemantauan di Myanmar mengkritik respons CEO Facebook, Mark Zuckerberg, dalam menghentikan ujaran kebencian.

Selain itu, Facebook juga dinilai gagal bertindak cukup cepat untuk membatasi pesan-pesan berbahaya yang memicu kekerasan di negara tersebut.

Mereka menyampaikan kritiknya dalam sebuah surat terbuka yang ditujukan kepada Zuckerberg. Konsorsium yang terdiri dari enam organisasi itu menuduh Facebook kekurangan mekanisme layak untuk mengatasi masalah darurat.

"Kami mengidentifikasi sejumlah pesan dan mengeskalasinya kepada tim Anda melalui email pada Sabtu, 9 September, waktu Myanmar. Saat itu, pesan itu sudah beredar selama tiga hari," tulis kelompok aktivitas tersebut, seperti dikutip dari The Guardian, Sabtu (7/4/2018).

Pesan berisi ujaran kebencian tersebut diungkapkan oleh Zuckerberg pada awal pekan ini. Menurut keterangannya, sistem Facebook mendeteksi sepasang surat berantai di Myanmar di dalam layanan Facebook Messenger pada tahun lalu.

Salah satu pesan itu berisi peringatan serangan oleh muslim pada 11 September 2017.

Dalam sebuah pesan lain, tertulis bahwa Rohingya -disebut dalam istilah rasis Kalar- berencana melakukan jihad pada 11 September 2017. "Peringatkan teman-teman kalian. Tentara telah mengeluarkan perintah untuk bersiap dengan senjata," demikian isi pesan tersebut.

Pesan ini disebar oleh ratusan ribu penduduk di Myanmar, dengan imbauan kepada penerima untuk meneruskannya kepada teman dan keluarga.

Pada saat bersamaan, juga terdapat sejumlah pesan menargetkan komunitas muslim. "Pada 11 September di Yangon, MaBaTha dan nasional ekstrimis akan berkolaborasi dan mereka akan meluncurkan sebuah gerakan anti kalar," demikian isi pesannya.

Kelompok aktivitas Myanmar menilai Facebook gagal menghentikan penyebaran pesan-pesan tersebut.

"Jauh dari dihentikan, pesan-pesan itu menyebar dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya, menjangkau seluruh negeri dan menyebabkan ketakutan meluas dan memicu sedikitnya tiga insiden kekerasan," jelas mereka dalam surat terbukanya.


Sistem Facebook Dikritik

Ilustrasi Facebook (iStockPhoto)

Konsorsium kelompok aktivis tersebut juga menyatakan kekagetan mereka karena Zuckerberg memuji efektivitas sistem Facebook. Kendala utama Facebook mengatasi ujaran kebencian di Burma dinilai kurangnya pegawai Facebook yang bisa berbahasa lokal.

"Kami beruntung memiliki orang asing berbahasa Inggris yang percaya diri dan cukup terhubung untuk mengatasi masalah ini," isi pesan yang tertulis dalam surat tersebut.

Selain itu, mereka juga menyayangkan keengganan Facebook berkomunikasi dengan para pemangku kepentingan lokal.

Perwakilan Facebook memang pernah mengadakan pertemuan informal ketika mengunjungi Myanmar, tapi perusahaan sejauh ini dinilai tidak memberikan respons solusi darurat untuk menangani masalah.

"Tim engineering Anda seharunys bisa mendeteksi duplikasi unggahan, serta memastikan konten kebencian yang teridentifikasi dihapus secara komprehensif dari platform Anda. Kami belum melihat ini terwujud," jelas mereka.

Adapun Zuckerberg dalam penjelasannya pada awal pekan ini, mengatakan pihaknya telah menghentikan penyebaran pesan berisi ujaran kebencian tersebut.

"Orang-orang mencoba menggunakan tool-tool kami untuk memicu kejahatan nyata. Sekarang, dalam kasus ini (pesan di Myanmar), sistem kami mendeteksi apa yang terjadi. Kami menghentikan penyebaran pesan-pesan itu," tutur Zuckerberg.

Tim Facebook yang menangani konten berbahaya, memang tidak langsung bisa mengatasi seluruh pesan. Tim tersebut dilaporkan membutuhkan waktu lebih dari empat hari untuk merespons ketika pesan mulai beredar di internet selama krisis Rohingya.

(Din/Ysl)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya