Liputan6.com, Cirebon - Ular merupakan salah satu satwa melata yang cukup menakutkan bagi sebagian orang. Bahkan, satwa melata itu dikaitkan dengan kesan yang seram.
Tetapi segala macam persepsi atas tersebut tidak berlaku bagi masyarakat di Blok 3 Desa Kertasura, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon. Sebagian besar warga di Blok 3 ini menggantungkan hidupnya dari hasil menangkap ular.
Baca Juga
Advertisement
Ular yang ditangkap diolah lagi untuk diambil kulitnya dan dijual kepada pengepul. Salah seorang pengusaha bahan baku ular, Tosin (41) mengaku sejak tahun 2005 sudah berkecimpung di dunia satwa ular.
"Tadinya hanya mencari saja alias jual ular hidup tapi lama kelamaan banyak yang minta dan diberi masukan untuk membuka usaha olahan kulit ular jadi ya saya bersama keluarga mengolah kulit ular," ujar dia.
Tosin mengaku sejak kecil sudah akrab dengan berbagai jenis satwa melata yang menakutkan ini. Kedekatannya dengan ular juga menurun dari sang ayah, bahkan bakat tersebut menurun ke anaknya.
Dia mengatakan, ular yang ditangkap merupakan ular yang khusus hidup di air baik asin, tawar maupun payau. Ular yang diambil merupakan hewan melata yang dianggap hama bagi petani, peternak hingga petambak.
"Kalau ular yang habitatnya di darat tidak saya ambil karena ada aturannya kan harus ada izin juga selain itu penangkapannya dibatasi serta harus ada penangkarannya," kata Tosin.
Tosin mengaku aktivitas mengolah kulit ular tersebut tidak dilakukan setiap waktu. Tosin menangkap ular saat cuaca memasuki musim hujan.
Dia menyebutkan, saat musim hujan, produksi bahan kulit ular bisa mencapai 5 kwintal per hari. Kulit ular tersebut diambil langsung oleh pengepul dengan harga mulai dari Rp 3000 sampai Rp 50 ribu per kulit.
"Tergantung musim, ukuran lebar kulitnya dan selebihnya dijadikan apa ya tergantung pengepul saja tapi biasanya dijadikan dompet atau produk fesyen lain," ujar dia.
Pakan Ternak
Sementara itu, selain kulit, Tosin juga terkadang mendapat banyak pesanan dari daging ular. Dia mengatakan, jika musim dingin, daging ular sebagian besar laku dibeli.
Tosin mengaku tidak tahu daging yang dibeli oleh pengepul tersebut dipergunakan untuk apa. Jika daging tak laku dibeli, Tosin memberikan daging untuk pakan ternak atau tambak seperti ikan lele.
"Mungkin biasanya diekspor karena setahu saya daging ular itu panas dan di luar negeri sana kalau musim dingin biasanya pas makan daging ular. Semua orang yang akrab dengan ular pasti pernah mencoba daging ular," ujar dia.
Tetapi demikian, Tosin mengaku tidak memprioritaskan menjual daging ular ke pasaran. Sebab, selain bukan makanan pokok, daging ular tidak boleh dimakan untuk kalangan muslim.
Dia mengaku, warga yang hidup bergantung dari hasil tangkapan dan olahan ular sifatnya tidak permanen. Tosin menjelaskan, jika memasuki musim kemarau, warga cenderung beralih profesi menjadi pedagang hingga petani.
"Kalau lagi musim rendeng ya pasti ramai ular dan kita manfaatkan kulitnya dijual kalau kemarau lagi ya pedagang biasa," ujar dia.
Advertisement
Turun Temurun
Kendati demikian, aktivitas warga Blok 3 Desa Kertasura menangkap dan mengolah ular sudah turun temurun bahkan orang menyebutnya kampung ular. Tosin mengaku usaha warga mengolah ular sudah ramai.
"Pengepulnya juga sudah hafal siapa saja warga yang mengolah ular dan hanya di blok desa ini saja," kata Tosin.
Biasanya, hasil olahan ular yang dibeli dari Cirebon dijual kembali untuk di ekspor ke luar negeri, seperti Uni Eropa, Singapura, dan Australia.
Karena proses pengolahannya yang sangat rumit, dalam sebulan rata- rata menghasilkan 3 hingga 4 ton. Penghasilannya sangat tidak menentu. Selain bergantung pada pasokan kiriman ular, penghasilannya bergantung pada pesanan dari pemborong.
"Kalau saya hanya pengusaha kecil. Karena hanya memasok bahan bakunya saja. Ditambah, sangat bergantung pesanan dari pemborong," kata dia.
Saksikan vidio pilihan berikut ini: