Liputan6.com, Seoul - Sebanyak lebih dari 50 orang ilmuwan bidang kecerdasan buatan (AI) dari seluruh dunia, menyerukan boikot terhadap sebuah universitas di Korea Selatan, karena diketahui bekerjasama dengan sebuah perusahaan pertahanan untuk menciptakan senjata otomatis, yang lebih dikenal dengan julukan 'robot pembunuh'.
Dalam pengumuman boikot tersebut, para ilmuwan mengaku kecewa dengan Institut Teknologi dan Sains Terapan Korea (KAIST), yang dituding mempercepat perlombaan pengembangan robot pembunuh, sehingga membahayakan perdamaian global.
Menurut para ilmuwan, seperti dikutip dari CNN pada Jumat (6/4/2018), pengembangan robot pembunuh tersebut akan memicu terjadinya tensi ketegangan baru, yang berujung pada risiko Perang Dunia III.
"Proyek pengembangan yang mereka (KAIST) lakukan berpotensi menghasilkan senjata teror, yang jika lalai dalam pengawasannya, bisa berpindah tangan ke kelompok jahat untuk melawan populasi yang tidak bersalah. Ini adalah kotak Pandora yang sulit ditutup jika telah terbuka," tulis para ilmuwan dalam sebuah pernyataan.
Baca Juga
Advertisement
Pada akhir Februari lalu, KAIST bekerjasama dengan perusahaan pertahanan Hanwha Systems, mengumumkan pembukaan pusat penelitian kecerdasan buatan di salah satu wilayah di Korea Selatan.
Namun, karena menuai perdebatan sengit di kalangan ilmuwan, KAIST pun menghapus pengumuman tersebut dari situs resminya.
Presiden KAIST Shin Sung-chul merilis sebuah pernyataan pada hari Rabu, 4 Maret 2018, mengatakan bahwa universitas tidak memiliki niat untuk mengembangkan sistem senajata otomatis.
"Sebagai institusi akademis, kami menghargai standar hak asasi manusia dan etika hingga tingkat yang sangat tinggi. KAIST telah berusaha melakukan penelitian untuk melayani dunia dengan lebih baik," katanya.
Toby Walsh, pencetus aksi boikot yang juga seorang profesor AI di Universitas New South Wales, mengatakan bahwa dia sangat puas dengan pernyataan Shin tentang isu pengembangan robot pembunuh.
Namun, penyelenggara boikot belum menyatakan keputusan apapun terkait tanggapan yang telah disampaikan oleh pimpinan KAIST itu.
"Saya masih memiliki beberapa tanda tanya tentang apa yang ingin mereka lakukan, tetapi secara umum mereka telah menanggapi dengan tepat," kata Walsh.
Simak video pilihan berikut:
Senjata Otomatis Sulit Dikendalikan Manusia
Boikot itu dilakukan kurang dari seminggu sebelum pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, untuk membahas kekhawatiran tentang sistem senjata otomatis.
Menurut pernyataan yang dikeluarkan oleh para pendukung boikot, 22 negara sejauh ini menyerukan larangan pre-emptif terhadap isu tersebut.
"Beberapa senjata lebih baik dijauhkan dari medan perang, termasuk robot pembunuh," kata Walsh.
Ini bukan pertama kalinya para peneliti AI menyuarakan kecemasan terhadap pengembangan senjata otomatis.
Pada 2017, Future of Life Institute merilis video 'dystopian' -- sebutan untuk isu pemusnahan umat manusia -- berjudul Slaughterbots.
Video selama tujuh menit itu menunjukkan drone seukuran telapak tangan, yang melakukan pembantaian terhadap masyarakat di suatu tempat.
Dua tahun sebelumnya, ribuan peneliti AI dari seluruh dunia menandatangani sebuah surat terbuka. yang menyerukan pelarangan senjata otomatis.
Mereka beralasan bahwa senjata otomatis akan berisiko sulit dikendalikan oleh manusia, sehingga mengancam perdamaian.
"Anda bisa membayangkan bagaimana mengerikannya jika satu program, dapat mengikuti perintah untuk membunuh. Sedangkan di masa lalu, butuh tenaga ratusan orang untuk melakukan hal yang sama," jelas Walsh.
Advertisement