Liputan6.com, Jakarta - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah terbatas pada pekan ini. Hal itu didukung saham kapitalisasi besar dan kecil cenderung menguat.
Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, IHSG turun 0,2 persen dari posisi 6.188 pada Jumat 29 Maret 2018 menjadi 6.175 pada Jumat 6 April 2018. Penguatan IHSG didorong saham kapitalisasi besar naik 0,19 persen selama sepekan.
Saham kapitalisasi kecil juga menahan pelemahan IHSG. Saham kapitalisasi kecil naik 0,67 persen. Akan tetapi, investor asing masih jual saham. Tercatat aksi jual saham oleh investor asing mencapai USD 102 juta atau sekitar Rp 1,4 triliun.
Sementara itu, di pasar surat utang, indeks BINDO naik 0,75 persen selama sepekan. Imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun turun lima basis poin menjadi 6,63 persen. Investor asing masih beli obligasi mencapai USD 1,4 miliar.
Baca Juga
Advertisement
Sentimen potensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China masih bayangi pasar saham. Vice President Sales and Marketing Distribution, PT Ashmore Assets Management Indonesia, Lydia Toisuta menuturkan, ketegangan meningkat ketika China akan kenaikan tarif 25 persen terhadap barang AS. Pengenaan tarif itu dapat mencapai USD 50 miliar. Rencana pengenaan tarif itu berlaku untuk kedelai, mobil, bahan kimia dan pesawat terbang.
Pengumuman China tersebut sebagai respons terhadap AS yang akan kenakan tarif terhadap produk China yang nilainya mencapai USD 50 miliar.
Pejabat pemerintahan AS, Larry Kudlow pun berusaha untuk mencoba meredakan kekhawatiran perang dagang. Diharapkan ada kesepakatan antara kedua negara.
Akan tetapi, Presiden AS Donald Trump kembali isyaratkan untuk menambah tarif impor produk China mencapai USD 100 miliar. China pun tetap akan melawan AS. Hal tersebut mendorong volatilias di bursa saham global.
“Tetapi perlu diingat tidak ada tarif yang akan segera berlaku karena butuh komentar publk dalam waktu 60 hari,” ujar dia.
Terkait pengenaan tarif impor, Korea Selatan juga memberitahukan kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk menangguhkan konsesi tarif barang impor AS senilai USD 480 juta. Ini sebagai respons terhadap langkah AS buat impor Korea Selatan.
Sentimen lainnya pengaruhi pasar inflasi di zona Euro. Harga konsumen zona Euro meningkat pada Maret untuk pertama kali dalam empat bulan. Sementara, tingkat pengangguran turun ke level terendah dalam sembilan tahun.
Kondisi data ekonomi itu dinilai akan perkuat keyakinan bank sentral Eropa untuk memenuhi target inflasi di tahun mendatang.
Sedangkan sentimen dari dalam negeri, Lydia menuturkan rilis data Inflasi pengaruhi pasar keuangan.Inflasi tercatat 0,2 persen pada Maret 2018. Angka itu meningkat dari bulan sebelumnya 0,17 persen.
Peningkatan inflasi didorong administered price atau harga yang sudah ditetapkan pemerintah dan harga makanan. Dengan kondisi itu, inflasi mencapai 3,4 persen secara year on year (YoY). Angka itu meningkat dibandingkan bulan sebelumnya 3,18 persen. “Meski demikian inflasi masih dalam target 3,5 plus minus satu persen,” kata Lydia.
Selain itu, pemerintah merilis insentif tax holiday untuk sektor manufaktur. Kementerian Keuangan menyatakan tax holiday tersebut berlaku untuk 17 sektor industri.
Kebijakan tersebut akan memberikan perusahaan keringanan pajak ketika mengajukan permohonan izin investasi dan memperluas industri.Adapun investasi mulai dari Rp 500 miliar hingga kurang dari Rp 1 triliun memperoleh pembebasan pajak untuk lima tahun pertama. Sedangkan investasi paling sedikit Rp 30 triliun dapat nikmati status bebas pajak selama 20 tahun.
Faktor yang Dicermati ke Depan
Lalu apa saja yang akan dicermati ke depan?
Masalah perang dagang menjadi sorotan. AS bukan mitra dagang terbesar untuk Indonesia. Sekitar 11 persen dari total ekspor yang masuk ke AS. Ini lebih rendah ketimbang China.
Dengan rasio ekspor rendah, Indonesia dinilai relatif tertutup dibandingkan negara lainnya. Namun mengingat current account atau neraca pembayaran defisit, menurut Lydia, dampak ketegangan perang dagang perlu diperhatikan.
“Kami percaya ketegangan perang dagang akan berdampak ke ekonomi domestik lewat aliran modal terutama portofolio,” kata dia.
Selain itu, Lydia melihat nilai tukar rupiah juga perlu diperhatikan. Apalagi neraca perdagangan perlu surplus USD 1 triliun pada Maret sehingga defisit transaksi berjalan mencapai 2,5 persen pada kuartal I 2018. Namun, Lydia menilai hal itu tak mungkin karena meningkatnya impor.
Di pasar modal, investor asing masih beli obligasi mencapai USD 0,5 miliar. Sementara itu, investor masih jual saham di pasar saham. Tercatat aksi jual capai USD 1,5 juta. Sejak Juni 2017, aksi jual investor asing mencapai USD 5,7 miliar di pasar saham. Level itu tertinggi dalam sejarah Indonesia.
Dengan kondisi itu membuat tingkat kepemilikan asing menjadi terendah sepanjang sejarah hanya 50,4 persen. Sedangkan kepemilikan investor asing di obligasi meningkat menjadi hampir 40 persen. Kepemiikan investor itu terutama di obligasi pemerintah.
Berdasarkan data, kepemilikan institusi domestic di saham MSCI Indonesia naik 100 basis poin menjadi 17, persen pada kuartal I 2018. Level itu tertinggi sejak 2010. Investor domestik memiliki nilai saham mencapai USD 20 miliar atau sekitar Rp 275,51 triliun.
Valuasi IHSG pun telah turun dari level tertinggi 17,4 kali pada Januari menjadi 15,6 kali. Lydia menuturkan, valuasi IHSG tidak lagi terlalu mahal tetapi investor asing tampaknya belum akan masuk. “Mereka perlu menemukan katalis positif uang kuat terutama investasi dan pendapatan perusahaan,” kata dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement