KPU: Pantaskah Orang yang Pernah Mengkhianati Jabatan Dicalonkan?

KPU mengatakan lembaganya ingin melindungi warga yang memiliki hak pilih dari memilih caleg yang salah.

oleh Ika Defianti diperbarui 07 Apr 2018, 09:04 WIB
Ketua KPU Arief Budiman (tengah) berbicara dengan Komisioner KPU Ilham Saputra (dua kiri) saat uji publik rancangan peraturan KPU soal Pemilu 2019, Jakarta, Kamis (5/4). KPU merancang peraturan pencalonan presiden dan wapres. (Liputan6.com/HermanZakharia)

Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan membuat aturan mengenai larangan mantan narapidana kasus korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif pada Pemilu 2019. Rencana ini pun menuai pro dan kontra.

Menjawab pro dan kontra itu, Komisioner KPU Hasyim Asy'ari menanyakan kepada publik, apakah pantas orang yang telah diberi amanah lantas mengkhianati amanahnya dengan melakukan pelanggaran hukum seperti KKN, layak untuk dipilih.

"Kalau pernah ada orang yang dikasih amanah lalu mengkhianati amanahnya, masih pantas enggak dicalonkan? Tolong dijawab sebagai pemilih," kata dia kepada wartawan di kawasan Senayan, Jakarta Selatan, Jumat 6 April 2018.

KPU mengatakan lembaganya ingin melindungi warga yang memiliki hak pilih dari memilih caleg yang salah. Pemilih, kata Hasyim, juga memiliki hak politik untuk memiliki wakil rakyat yang bersih.

"Saya kembalikan kepada masyarakat. Mau enggak dikasih calon yang pernah mengkhianati jabatannya?" tambah dia.

Saat ini, rancangan aturan tentang pelarangan tersebut telah diuji publik oleh KPU. Ia mengatakan masyarakat akan menilai apakah caleg mantan napi ini pantas dipilih atau tidak. Seharusnya parpol juga memiliki kategori caleg yang akan dicalonkan pada Pemilu 2019 nanti.

"Karena pintu yang bisa mencalonkan itu partai," ujarnya.

Sejauh ini yang dimasukkan dalam aturan ini mantan napi korupsi, belum sampai pada tindak pidana lainnya seperti narkoba dan kejahatan jenis lain. Ia menegaskan aturan ini sebagai keberpihakan KPU melayani pemilih.

"KPU mengajukan gagasan agar mantan narapidana korupsi juga dilarang nyaleg karena fenomenanya banyak Anggota DPR baik pusat maupun daerah yang kemudian kena kasus korupsi. Orang yang pernah kena kasus korupsi ini jadi problem karena apa? Kalau kita baca definisi apa itu korupsi di UU Korupsi (Tipikor), ada unsur penyalahgunaan wewenang," paparnya.

Terkait anggapan pelarangan itu akan melanggar HAM, Hasyim mengatakan pihaknya mengingatkan kepada parpol agar bisa menyiapkan calon wakil rakyat yang bersih. Jika parpol calonkan mantan napi korupsi, pemilih yang akan dirugikan.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Tak Akan Keluarkan Perppu

Mendagri Tjahjo Kumolo melambaikan tangan saat meninggalkan Gedung KPK, Jakarta, Senin (26/2). Tjahjo mengaku kedatangannya memenuhi undangan pimpinan KPK. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Sementara itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan tidak akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ataupun revisi UU tersebut, untuk larangan mantan narapidana korupsi menjadi calon legislatif atau caleg.

"Revisi tidak bisa sehari atau dua hari, Perppu dalam keadaan memaksa. KPU silakan membuat Peraturan KPU (PKPU), tapi aturan itu tidak menyimpang dari UU," kata Tjahjo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat kemarin.

Tjahjo menjelaskan, bila revisi UU Pemilu dilakukan, akan terdapat peluang untuk anggota dewan merevisi pasal-pasal lainnya. Sehingga hal itu dapat memakan waktu yang cukup lama.

Kendati begitu, Politisi PDI Perjuangan itu membuka kemungkinan untuk diadakannya revisi UU untuk mengatur Pemilu selanjutnya.

"Masih terbuka (revisi untuk Pemilu 2024) kalau ada kemauan dari DPR, pemerintah ada political will seluruh penyelenggara," ucapnya.

 

Reporter: Hari Ariyanti

Sumber: Merdeka.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya