Liputan6.com, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai pemerintah harus terlebih dulu membenahi aturan dasar terkait pemanfaatan sepeda motor untuk kendaraan umum. Hal tersebut perlu dilakukan sebelum pemerintah menentukan tarif untuk ojek online.
Ketua Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), sepeda motor sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk digunakan sebagai transportasi umum.
Oleh sebab itu, lanjut dia, jika pemerintah ingin mengatur soal ojek online, termasuk soal tarif, maka aspek legal seperti ini harus dibenahi terlebih dulu. Hal tersebut agar ojek online memiliki payung hukum yang kuat.
Baca Juga
Advertisement
"Selesaikan dulu aspek legal sepeda motor sebagai angkutan umum, boleh atau tidak. Menurut UU LLAJ, roda dua atau sepeda motor tidak memenuhi syarat sebagai angkutan umum," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Minggu (8/4/2018).
Menurut Tulus, pemerintah, khususnya Kementerian Perhubungan (Kemenhub), seharusnya tidak bisa mengatur soal tarif ojek online jika masalah payung hukumnya masih belum jelas.
"Negara seharusnya tidak bisa intervensi tarif sebelum (aturannya) diselesaikan," kata dia.
Sementara terkait tuntutan para pengemudi ojek online agar tarifnya dinaikkan, Tulus menyatakan hal tersebut harusnya bisa diselesaikan antara aplikator dengan pengemudi atau antara aplikator dengan aplikator. Namun, syaratnya, penetapan tarif ini tidak merugikan salah satu pihak.
"Terkait tarif ojek online, bisa diselesaikan secara B to B (business to business), asal tidak melanggar UU Persaingan Usaha Tidak Sehat, misalnya kartel," tandas dia.
Tarif Ojek Online Bakal Naik Rp 2.000 per Km?
Sebelumnya, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memberi usulan untuk tarif ojek online adalah Rp 2.000 per kilometer.
Harga ini sudah termasuk keuntungan dan biaya jasa karena berdasarkan perhitungan, harga tarif pokok yang ideal adalah di kisaran Rp 1.400-1.500. Dengan besaran ini maka akan menguntungkan semua pihak, baik dari sisi aplikator maupun bagi pengendara ojek online.
“Kemenhub memiliki perhitungan harga tarif pokok ojek online sekitar Rp 1.400-1.500. Dengan keuntungan dan jasanya sehingga tarifnya menjadi Rp 2.000. Namun, Rp 2.000 itu harus bersih, jangan dipotong menjadi Rp 1.600 atau berapa. Ini yang jadi modal kepada mereka untuk secara internal mereka menghitung,” jelas Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi pada 29 Maret 2018.
Budi Karya menambahkan, untuk besaran tarif ojek online, penentuan tarifnya adalah hak perusahaan untuk menentukan. Pemerintah tidak boleh menekan dan mengintervensi karena perusahaan juga memiliki perhitungan tersendiri untuk mengeluarkan seberapa besar tarif per kilometernya.
Advertisement
Hubungan Kemitraan
Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menuturkan, usulan tarif tersebut poinnya bukan naik atau tidaknya tarif, melainkan yang diinginkan adalah pendapatan dari pengemudi ada kenaikan.
"Itu sudah kami sampaikan pesan pengendara ojek ini kepada aplikator. Prinsipnya mereka akan menyesuaikan, besarannya itu mau menjadi berapa, nanti mereka yang akan menghitung lagi. Intinya adalah mereka siap untuk menaikkan. Pastilah tarif yang akan diusulkan akan proporsional. Karena dari aplikator itu ingin juga menyejahterakan pengendara ojeknya. Besarannya nanti manajemen akan rembukan,” tambah Moeldoko.
Moeldoko melanjutkan, usaha antara aplikator dan pengemudi ojek online bersifat kemitraan. Dengan begitu, dalam kemitraan itu mesti ada keseimbangan antara kedua belah pihak. Kalau salah satu hanya memikirkan diri sendiri, maka berhak untuk memutuskan kerja sama.
Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri mengatakan akan mendalami hal ini sesegera mungkin, karena ini terkait dengan penerapan hubungan kerja antara perusahaan dan karyawan. Bagaimana skema yang diterapkan, sebab menurutnya hal ini masuk kategori non standard form employment.
“Karena ini (ojek online) masuk jenis bisnis yang baru, jadi pada intinya kita ingin memastikan kedua belah pihak dalam posisi yang win-win. Jadi ada perlindungan terhadap tenaga kerjanya pada satu sisi, tetapi juga dari sisi industrinya tetap bisa tumbuh,” kata Hanif.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini: