Liputan6.com, Jakarta - Surat rekomendasi pemecatan kepada Mayjen dokter Terawan Agus Putranto tersebar. Menyebut Terawan dipecat sementara dari profesinya selama 12 bulan. Mulai 26 Februari 2018 sampai 25 Februari 2019. Rekomendasi dikeluarkan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (MKEK PB IDI) melalui sidang etik.
Sidang etik menyebut Terawan membuat banyak pelanggaran. Dari berkas putusan MKEK PB IDI kami miliki, tercatat ada empat pelanggaran dilakukan Terawan. Satu, mengiklankan diri secara berlebihan dengan klaim tindakan untuk pengobatan (kuratif) dan pencegahan (preventif). Dua, Tidak kooperatif atau mengindahkan undangan divisi pembinaan MKEK dengan tidak menghadiri undangan kemahkamahan. Tiga, dugaan menarik bayaran dalam jumlah besar. Terakhir, Terawan dianggap menjanjikan kesembuhan pada pasien setelah menjalani tindakan cuci otak.
Advertisement
Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto itu dianggap melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). Yakni pasal 3 ayat 17, pasal 4 tentang memuji diri, pasal 6 tentang bijak dalam menemukan temuan baru dan pasal 18 tentang menjunjung tinggi kesejawatan. Hasilnya MKEK memutuskan Terawan terbukti melanggar kode etik dengan bobot pelanggaran berat. Akibatnya, MKEK memberikan rekomendasi pemecatan sementara Terawan selama satu tahun kepada PB IDI.
Terapi dilakukan terawan memang berbeda. Ahli Intervensi Radiologi lulusan Universitas Gajah Mada, ini memodifikasi metode digital subtracion angiography (DSA). Mulanya, dokter Terawan akan meneliti terlebih dahulu hasil CT scan dan magnetic resonance imaging (MRI) milik pasien. Kemudian melalui mesin pemindai pembuluh darah tiga dimensi DSA, ahli radiologi itu bisa menindak cepat pasien stroke.
Sejak tahun 1990, dokter Terawan mulai mengembangkan teknik DSA. Semula DSA hanyalah alat pendeteksi kelainan dalam organ tubuh manusia paling mutakhir. Dikarenakan rangkaian teknologi DSA mampu menggambarkan kondisi otak tubuh manusia hingga ukuran paling kecil. Di tangan Terawan, DSA dimodifikasi. Dijadikan sebagai terapi. Pembersih sumbatan di sepanjang pembuluh darah. Sehingga kembali lancar. Temuan ini pun diberi nama DSA modifikasi Terawan. Di kalangan awam, dikenal dengan istilah terapi cuci otak dalam arti sebenarnya. Salah satunya dianggap mampu menyembuhkan stroke.
Dokter dari berbagai dunia sebenarnya menyepakati cara menyembuhkan stroke lewat terapi. Standarnya menggunakan recombinant-Tissue Plasminogen Activator (r-TPA). Zat ini berfungsi untuk meluruhkan sumbatan dalam pembuluh darah. Penggunaan r-TPA biasanya dilakukan saat golden time. Alias waktu terbaik pasca terjadinya stroke pada pasien.
Hal itu dijelaskan ahli saraf dari Universitas Atma Jaya dr. Yuda Turana. Dia menyebut, golden time paling lama tiga jam setelah stroke terjadi. "Penelitian yang sekarang kalau sudah tersumpal pakainya r-TPA fungsinya untuk meluruhkan sesuatu yang tersumpal," kata Yuda kepada kami, Sabtu pekan lalu.
Tahun 2011, nama Terawan makin naik daun. Setekah DSA ala Terawan mampu mengembalikan kondisi vokalis Panbers, Benny Panjaitan dari serangan stroke tahun 2010. Keberhasilannya itu bukan tanpa hambatan. Banyak kalangan kedokteran masih menentang. Menilai cara Terawan menangani pasien kelewatan. Apalagi saat digunakan untuk mengobati pasien stroke.
Kritik tajam justru datang dari Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi).Ketua Perdossi Prof. dr. Hasan Machfoed, menerangkan modifikasi dilakukan Terawan bukan cara untuk menyembuhkan penyakit. DSA hanyalah sebatas metode pemeriksaan kelainan dalam tubuh manusia. Dia meyakini penyakit disembuhkan Terawan dengan metode temuannya itu bukan terobosan dalam dunia medis.
"DSA itu adalah alat diagnosis. Nah, sama Terawan disalahgunakan, buat terapi anti stroke. Ya jadi enggak mungkin sembuh, itu hanya pemeriksaan saja," kata Hasan kepada kami, Kamis pekan lalu.
Menurut Hasan, seharusnya DSA hanya untuk mengetahui kelainan di dalam tubuh. Setelah melalui serangkaian proses maka pasien sebaiknya dirujuk kepada dokter spesialis tertentu. Lantaran dianggap berkompeten memberikan solusi dan pengobatan. Namun, langkah diambil Terawan berbeda. Justru langsung melakukan tindakan dan penyembuhan.
"Alat itu untuk diagnosis tapi dijadikan terapi bahkan dijadikan sebagai obat. Jadi itu kesalahan yang nomor dua itu yang lebih fatal lagi," ungkap Hasan.
Terobosan juga dilakukan dokter Terawan dipertanyakan. Terutama di lingkungan akademisi dunia kesehatan. Mempertanyakan kajian ilmiah Terawan tentang temuannya itu. Apalagi Terawan menjanjikan kesembuhan kepada para pasiennya hanya dengan menjalani terapi. Akibatnya tahun 2013 Terawan dipanggil MKEK PB IDI.
Harus Ada Uji Klinis
Pemanggilan Terawan berdasarkan pengaduan pelanggaran etik kedokteran di tingkat rujukan secara musyawarah mufakat. Laporan dan pandangan itu berasal dari para anggota MKEK PB IDI melihat adanya kontroversi mengenai temuan Terawan.
Dari berkas Surat Keputusan MKEK PB IDI kami miliki, menyebut Terawan pertama kali dipanggil pada 5 Januari 2015. Namun, dalam sidang etik dia tak hadir. Panggilan selanjutnya 30 Januari 2015. Selanjutnya panggilan ketiga tanggal 3 Maret, panggilan keempat tanggal 30 April, panggilan dan panggilan kelima tanggal 26 Mei 2015. Dari kelima panggilan itu tak satu pun dipenuhi. Padahal pada surat undangan, Terawan hanya diminta untuk memberikan penjelasan terkait modifikasi DSA karyanya.
Terakhir, Terawan kembali mendapatkan surat pemanggilan dari MKEK pada 16 Januari 2018. Lagi-lagi Terawan mangkir. Dengan alasan tengah melaksanakan tugas dinas luar. Salah satunya pada surat bernomor bernomor B/127/1/2018.
"Dia sudah enam kali dipanggil tapi enggak pernah datang dia," tegas Hasan. Dalam sidang itu dia juga menjadi salah satu saksi ahli. Hasan menyayangkan tindakan Terawan. Sebab, dirinya merasa penasaran dengan penjelasan ilmiah Terawan.
Pada Juli 2013, Terawan sebenarnya telah melaporkan tindakan medis dengan melakukan audiensi. Itu dilakukan atas saran Prof Agus Purwadianto. Usai menjalani audiensi tersebut, MKEK menyarankan laporannya dilengkapi dasar-dasar tindakan medis dalam majalah ilmiah. Terawan, kata Hasan, kala itu menyanggupi memenuhi syarat dalam kurun waktu tiga bulan. Hanya saja kelengkapan itu belum juga dipenuhi. Hingga putusan MKEK PB IDI diketok.
Hasan menganggap keabsenan Terawan bentuk tak menghargai organisasi profesi tertinggi dalam dunia kedokteran. Dia justru menuding Terawan tidak bisa menjelaskan tiap dasar tindakan dalam terobosan buatannya. "Kalau dia memang benar, ya datang kalau gitu berarti dia takut," ucapnya.
Pada berkas itu, Perdossi juga melaporkan Terawan ke MKEK PB IDI atas keberatan mengiklankan diri secara berlebihan. Promosi itu dilakukan lewat sebuah acara di stasiun televisi pada 16 November 2012. Iklan dilakukan Terawan dianggap meresahkan anggota Perdossi dan pasien neurologi. Sebab, Terawan menyebutkan 'Inilah satu-satunya metode di Indonesia bahkan di dunia'. Sehingga dianggap menjanjikan kesembuhan.
Selain itu, Terawan mematok biaya tertentu. Padahal metodenya secara ilmiah belum dipenuhi. Di salah satu rumah sakit ternama di Jakarta, proses diagnosa menggunakan DSA berada di kisaran Rp 20 jutaan. Sementara untuk terapi DSA ditawarkan Terawan dibanderol harga Rp 30 juta untuk setiap kali terapi.
Pada dasarnya Hasan tak begitu mempermasalahkan tentang biaya. Sebab hal itu menjadi kewenangan pihak rumah sakit dan dokter. Hanya saja sebagai akademisi, dirinya merasa penting bagi Terawan menjabarkan temuan barunya secara ilmiah. Sebab, dalam sebuah terobosan, sebelum diaplikasikan kepada manusia harus menjalani serangkaian uji klinis.
Ada tiga fase uji klinis sebelum dapat diterima dan diterapkan pada manusia. Setelah beredar pun tetap dilakukan uji klinis fase 4. Ini untuk mengetahui apakah memang benar bermanfaat dan aman setelah digunakan secara luas masyarakat. Tahapan ini dianggap belum dipenuhi Terawan. Terlebih belum bisa menunjukkan landasan ilmiah dari terobosannya itu.
Terkait berbagai testimoni pasiennya, Hasan tak mau ambil pusing. Sebab, testimoni hanya berupa pendapat dari pasien berhasil menjadi lebih baik dari sebelumnya. Tentunya dalam dunia medis, testimoni bukan menjadi patokan diterimanya cara pengobatan. "Testimoni itu tidak ada ukuran ilmiahnya. Biar seratus juta orang yang berhasil diobati mana bukti ilmiahnya? Kalau sudah ada bukti ilmiahnya baru saya percaya," jelas Hasan.
Tak hanya mendatangkan Hasan, MKEK PB IDI juga menghadirkan para ahli lainnya. Seperti dokter spesialis anak Prof. Sudigdo Sastroasmoro, dokter spesialis saraf Prof. Teguh AS Ranakusuma, dan pengurus IDI dari Biro Hukum dan Pembinaan/Pembelaan Anggota IDI. Sidang sempat tertunda tiga tahun itu akhirnya diputus. Tanpa kehadiran Terawan sebagai pihak terlapor. Hal ini tak membuat keputusan sidang tak berkekuatan hukum. Sebab hasil Mukernas IDI tahun 2017, putusan bisa dilakukan meski tanpa kehadiran terlapor (in absentia).
Advertisement
Bantahan Terawan
Sementara itu, Ketua PB IDI terpilih, Daeng M Faqih, menjelaskan putusan MKEK barulah sebatas rekomendasi. Sehingga, pemberhentian dan pencabutan izin praktiknya belum bisa dieksekusi. Sebelum menjalani putusan MKEK, biasanya PB IDI akan mengadakan rapat Majelis Pimpinan Pusat. Dalam rapat itu PB IDI akan mempertimbangkan eksekusi rekomendasi MKEK.
Pada kasus Terawan, kata Faqih, akan ada dua langkah diambil PB IDI. Pertama melakukan komunikasi dan koordinasi dengan pihak terkait. Utamanya dalam hal ini pimpinan TNI. Sebab Terawan bekerja untuk satuan TNI. Kedua, PB IDI akan memberikan kesempatan bagi Terawan untuk melakukan pembelaan terhadap putusan MKEK. "Posisinya (PB IDI) belum ada eksekusi. Jadi masih seperti biasanya saja," kata Faqih kepada kami, Jumat pekan lalu.
Daeng faqih menegaskan putusan rekomendasi MKEK tidak berkaitan dengan metode DSA dikembangkan Terawan. Sebab, melihat putusan MKEK pelanggaran terjadi berkaitan dengan etika profesi. Sementara mengenai modifikasi DSA masuk dalam ruang lingkup disiplin keilmuan.
Secara terpisah, Terawan justru membantah bila dirinya dituduh mengiklankan terapi cuci otak. Dirinya justru menantang PB IDI membuktikan bahwa dirinya mengiklankan penemuannya tersebut. Meski begitu, nasibnya masih tertawan lantaran keluarnya rekomendasi pemecatan. "Saya malah tidak tahu iklan yang mana, harus ditunjukkan di mana saya beriklan, karena membahayakan kalau menuduh (saya) mengiklankan," ungkap Kepala RSPAD Gatot Soebroto ini.
Terawan mengaku selama ini hanya memberikan penjelasan tentang temuannya. Pria mendapatkan gelar Doktor di Universitas Hasanuddin, ini mengaku bahwa penjelasan secara teknis medis merupakan bagian dari kewajibannya. "Saya sebagai TNI tidak pernah mengiklankan diri. Tetapi kalau saya menjelaskan secara teknis medis itu kewajiban saya karena menyangkut kejujuran," ujar Terawan.
Dalam kasus ini, sebagian akademisi meyakini bahwa Terawan hanya tersandung masalah etik. Dukungan kepada Terawan muncul salah satunya dari Prof dr Irawan Yusuf Ph.D, guru besar Universitas Hasanuddin (Unhas). Irawan menyebut secara akademik metode diterapkan Terawan tidak bermasalah.
"Namun kadang orang sulit membedakan mana soal etik dan mana soal akademik sehingga banyak orang yang bertanya-tanya," kata Irawan saat memberikan keterangan pers di gedung rektorat Universitas Hasanuddin, Jumat pekan lalu.
Sebagai promotor disertasi Terawan ketika mengambil gelar doktor di Unhas, Irawan menyarankan Terawan memberikan gambaran lebih transparan. Tentang semua pasien. Karena belum tentu hasil semua baik. Belum seluruhnya baik. Lalu, Terawan juga harus menjelaskan apa penelitian selanjutnya untuk membuktikan segala kekurangan di situ sehingga metode pengobatan itu menjadi standar.
Salah seorang pasien dokter Terawan, Abdullah Makhmud (AM) Hendropriyono merasa tak ada hal berbahaya selama menjalani terapi. Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) menyadari bahwa metode dilakoni juniornya di tentara ini belum sepenuhnya diakui dalam dunia medis. Namun, dirinya tak peduli. Sebab dirinya dan banyak rekannya sembuh setelah ditangani Terawan. "Kita mah enggak penting akademik, yang penting hidup. Sembuh." ungkap Hendropriyono kepada kami.
Reporter: Anisyah Al Faqir, Angga Yudha Pratomo, Tim Health Liputan6.com