Pengamat Minta Utang Pemerintah Tak Hanya Diukur dari PDB

Fakta di Eropa ketika krisis utang periode 2013-2015 menjadi titik balik keraguan antara batas utang terhadap PDB.

oleh Septian Deny diperbarui 09 Apr 2018, 21:10 WIB
Ilustrasi utang. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Masalah utang pemerintah menjadi perdebatan sejumlah pihak. Pasalnya, hingga akhir Februari 2018, utang tersebut tercatat mencapai Rp 4.034 triliun.

Pengamat Ekonomi Institute fo Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan hal yang paling sederhana untuk mengukur risiko utang negara adalah membandingkan nominal utang terhadap produk domestik bruto (PDB).

Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan jika batasan maksimal utang adalah 60 persen terhadap PDB.

"Tanpa tafsiran yang macam-macam, kesimpulannya kalau utang pemerintah per Februari 2018 masih Rp 4.034 triliun maka sama dengan 29,2 persen dari PDB alias jauh di bawah ambang batas 60 persen," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Senin (9/4/2018).

Namun, dalam‎ perkembangan utang tampaknya harus dikaji kembali. Sebab, batasan utang terhadap PDB menjadi terlalu sederhana.

Bhima menyatakan fakta di Eropa ketika krisis utang periode 2013-2015 menjadi titik balik keraguan antara batas utang terhadap PDB.

Beberapa negara di Eropa yang memiliki rasio utang di atas 100 persen seperti Italia dan Belgia tidak masuk dalam program Bailout Troika Dana Moneter Internasional (IMF).

"Negara seperti Irlandia dan Spanyol tahun 2008 memiliki rasio utang 43 persen dan 39 persen masuk menjadi daftar pasien IMF yang harus ditolong. Bukan berarti rasio utang tak relevan, namun harus dilengkapi dengan indikator lain agar membaca utang tidak oversimplified atau terlalu menyederhanakan," kata dia.

 Tonton Video Ini:


Banyak Indikator

Sementara itu, Peneliti Lingkar Studi Perjuangan Gede Sandra menyatakan, untuk melihat kondisi utang pemerintah aman atau tidak banyak indikator yang harus dilihat.

Jika berkaca menjelang krisis finansial pada 1997-1998, di mana saat itu seluruh lembaga pemeringkat juga memberikan investment grade pada Indonesia. Standard & Poor’s pada Desember 1997 memberikan rating BBB-, Moody’s memberi rating Baa3. Fitch pada Juni 1997 memberi rating BBB-.

"Pada 1997, seluruh ekonom di lembaga pemerintah, termasuk juga para ekonom asing, meramalkan perekonomian Indonesia sehat-sehat saja. Hanya ada satu ekonom Indonesia yang kritis terhadap rentannya situasi internal perekonomian Indonesia, dan kemudian ramalannya terbukti benar, yaitu Rizal Ramli,” ungkap dia.

Selain itu, Gede Sandra juga menyoroti tingkat bunga (yield) surat utang Indonesia. Indonesia seharusnya dapat menghindari kerugian akibat pemasangan yield ketinggian selama ini.

Dia membandingkan Vietnam yang memiliki rating di bawah Indonesia, ternyata tingkat yield surat utang Indonesia masih lebih tinggi 1 persen dibanding negara tersebut.

"Ini Rizal Ramli sudah memberi solusi agar Menteri Keuangan menukar utang-utang Indonesia yang bunganya ketinggian dengan utang yang bunganya lebih rendah,” tandas dia.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya