Jember - Pelarian Husnan, pemimpin ritual pengobatan berujung maut di Pantai Paseban, Kecamatan Kencong, Kabupaten Jember, Jawa Timur, berakhir. Husnan yang disebut-sebut sebagai ustaz dan pintar mengobati orang sakit itu ditangkap polisi setelah kabur usai memimpin rombongan ritual berujung petaka di Pantai Paseban, Senin dini hari, 2 April 2018.
Lelaki usia 30, warga Desa Sumberpoh, Kecamatan Maron, Probolinggo itu diringkus polisi di rumah Erna (50), warga Bawen. Erna sehari-harinya buka warung di Pasar Probolinggo. Dia ternyata adalah mantan mertua Husnan.
Baca Juga
Advertisement
Husnan ditangkap pada Minggu subuh, 8 April lalu, tepat sepekan setelah kejadian ritual pengobatan berujung maut. Usai kejadian yang menewaskan tiga warga Probolinggo itu, Husnan kabur bersama Ahmad Taufiq (17), adik Sutriwati (21). Sutriwati ini disebut-sebut sebagai istri Husnan. Namun, belakangan terkuak, jika mereka ternyata belum menikah. Hanya tunangan.
Usai ritual maut itu, Husnan memang bersembunyi. Hanya saja, dia mengaku masih bingung. Ia pun mengaku meninggalkan Pantai Paseban, Kencong, usai kejadian untuk menyerahkan diri kepada polisi.
"Saya sebenarnya tidak melarikan diri, waktu pergi sama Ahmad Taufiq, memang mau melapor ke polisi," ucap pemimpin ritual maut itu saat diwawancara Radar Jember (Jawa Pos Group), Minggu sore, 8 April 2018.
Tapi, sampai di jalan raya Desa Kraton, Kecamatan Kencong, Husnan mengaku panik. Dia kemudian menuju jalan ke arah Lumajang. "Saya benar-benar panik dengan kejadian yang sampai membawa korban jiwa (ritual maut)," ujarnya.
Baca berita menarik dari JawaPos.com lain di sini.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Gelar Ritual Pengobatan Saat Malam Hari
Selama ini, Husnan mengaku sering dimintai tolong orang yang ingin sembuh dari sakitnya. Dia juga sudah sering menggelar ritual mandi di laut kepada orang-orang yang meminta tolong. Sudah sepuluh kali. Dan lokasinya selalu di Pantai Paseban atau Pantai Kencong, Kabupaten Jember.
Orang yang diajak untuk melaksanakan ritual selama ini cukup banyak. Mereka juga tak hanya warga Probolinggo. Bahkan, ada yang berasal dari Malang. "Saya kalau ritual biasanya memang rombongan. Bahkan pernah bawa truk," katanya.
Husnan mengungkapkan, cukup banyak orang yang minta tolong diobati dan diajak ritual. Dia mengaku, banyak pasiennya yang sembuh setelah ritual itu. "Yang melakukan ritual dengan mandi di laut banyak yang sembuh, tapi prosesnya agak lama," ucapnya, lirih.
Menurutnya, ritual itu selalu digelar malam hari. Bukan karena apa, tapi karena saat ritual semua baju harus dilepas. "Kalau dilakukan siang hari orang-orang yang ikut ritual mengaku malu. Karena seluruh pakaian harus dibuka. Baju harus dilepas supaya tidak basah," ujar Husnan.
Saat ritual, Husnan juga selalu ikut mandi. Namun, saat ritual yang berujung maut pada Senin dini hari, 2 April lalu, dia mengaku maunya tak ikut mandi. Alasannya, kepalanya pusing. Kendati demikian, saat itu, ada yang memaksanya, sehingga akhirnya Husnan ikut mandi.
Ketika tiba-tiba ada ombak besar dan menggulung peserta ritual, Husnan saat itu juga masih berendam. Husnan bukannya ikut menolong para pasiennya, melainkan malah kabur. "Saya mau menyerahkan diri ke polisi waktu itu. Tapi, saya panik," ia menegaskan.
Sementara, Sriyanto Kepala Desa Roto, Kecamatan Krucil, Kabupaten Pobolinggo membenarkan jika Husnan ini dikenal warga punya kepintaran membantu menyembuhkan orang sakit. Bahkan, oleh para warga dia dijuluki ustaz.
Dia membenarkan jika pada Minggu subuh, 8 April 2018, warganya itu akhirnya berhasil ditangkap polisi. "Iya, ditangkap tadi pagi bersama peserta ritual yang selamat, Ahmad Rofik, warga Desa Roto," ujarnya.
Menurut Sriyanto, posisi ustaz Husnan diketahui setelah Ahmad Rofik menelepon Samo (65), ayahnya, di Desa Roto. Kepada ayahnya, Rofik mengatakan berada di rumah Erna, rumah mantan mertua Husnan. Ahmad Rofik juga mengaku saat itu sedang bersama ustaz Husnan.
"Dari sini akhirnya posisi Husnan diketahui. Saya juga ikut mengantar Samo ayah Rofik menemui anaknya itu," tuturnya.
Advertisement
3 Orang Jadi Korban
Sebelumnya, tiga warga asal dua desa di Kecamatan Krucil, Kabupaten Probolinggo, meninggal dunia akibat digulung ombak saat mengikuti ritual di Pantai Paseban, Dusun/Desa Paseban, Kecamatan Kencong, Senin, 2 April, pukul 02.00 WIB.
Dua orang tewas dan langsung ditemukan adalah Supri (57) dan Ahmad (22). Keduanya warga Desa Kertosuko, Kecamatan Krucil.
Sementara, seorang korban tewas lainnya adalah Sunari (26), warga Desa Roto, Kecamatan Krucil, Kabupaten Probolinggo. Jasad Sunari ditemukan tiga hari usai kejadian.
Tiga korban itu memang sedang menjalani ritual bersama tujuh warga lain. Ritual ini dipimpin oleh Husnan. Akibatnya, sepuluh warga yang awalnya saling berpegangan tangan itu tercerai-berai.
"Kami saling bergandengan, sambil baca selawat. Tiba-tiba ombak datang," tutur Salam (28), warga Desa Sumberduren, Krucil, Probolinggo, kepada Radar Jember (Jawa Pos Group).
Salam adalah korban selamat yang juga ikut ritual.
Usai peristiwa nahas itu, Husnan kabur. Untuk menghilangkan jejak, telepon seluler milik Ahmad Taufiq diminta Husnan.
"Sehingga, dia tidak bisa menghubungi siapa-siapa ketika diajak pergi selama seminggu. Nah, ketika berada di rumah budenya itulah (Erna) dia meminjam handphone budenya untuk menghubungi ayahnya," imbuh Kepala Desa Roto, Sriyanto.
Husnan langsung dibawa petugas ke Jember. "Tadi (Minggu, 8 April 2018) malam langsung dibawa ke Jember," katanya.
Percaya Ajaran Leluhur
Ritual pengobatan yang berujung maut di Pantai Paseban, membuat kalangan akademisi angkat bicara. Menurut Heri Prasetyo, pengamat sosial dari FISIP Universitas Jember, upaya itu dijalani mereka karena tidak memiliki pilihan lain.
Mereka ingin sembuh setelah tidak percaya dengan penyembuhan medis. Baik karena terlalu mahal atau berbelit-belit. "Mereka ingin kembali sehat pada keadaan semula," kata Heri, kepada Radar Jember (Jawa Pos Group).
Peristiwa ritual yang menelan korban jiwa itu karena faktor keyakinan yang dimilikinya. Yakni bisa sembuh setelah melakukan ritual mandi di air laut.
Mereka mau melakukan hal itu karena beberapa faktor. Pertama, tidak memiliki pilihan lain. Kedua, percaya karena itu merupakan cara mendekatkan diri pada kekuatan alam. Bagi mereka, alam bisa menyembuhkan penyakit yang diderita.
Kemudian, ada yang sudah berhasil sembuh melalui cara tersebut. Mereka mendapatkan keberhasilan itu dari cerita orang lain, meskipun belum tentu kebenarannya. "Ada juga yang percaya karena menjadi mitos," ucapnya.
Ia mengakui, meskipun sekarang era modern, tak semua masyarakat dijangkau oleh modernitas. Hal itu karena kondisi masyarakat yang plural. "Orang yang melakukan ritual dianggap sebagai orang yang tidak terjangkau modernitas," jelasnya.
Padahal, ada juga kalangan yang terpelajar namun percaya dengan kegiatan ritual seperti itu. Semua itu karena kepercayaan dan keyakinan yang dimiliki oleh masing-masing orang. "Sekarang cara melarikan diri bersandar pada keyakinan, misal kepercayaan pada laut yang bisa mengambil penyakit," paparnya.
Kepercayaan itu terjadi karena sudah diajarkan oleh leluhurnya. Selain itu, didapatkan dari berbagai naskah kuno. "Jawa sendiri, bahkan Asia, masih percaya pada kekuatan supranatural," ungkapnya.
Percaya Kekuatan Supranatural
Warga desa meyakini itu karena sudah punya pengalaman. Ada orang lain yang sudah berhasil, sehingga ingin ikut mencobanya. Bahkan program televisi juga menyiarkan acara mistis dan percaya dengan kekuatan supranatural. "Hal itu yang membuat orang sukarela dan tanpa pikir panjang percaya dengan hal mistis," tuturnya.
Pria yang akrab disapa Heri itu menjelaskan persoalan yang dihadapi adalah agar orang itu bisa sehat karena sakit. Bisa sejahtera karena kesulitan ekonomi. "Dilihat dari kacamata modern kegiatan ritual seperti ini memang tidak layak," tambahnya.
Namun, karena tidak punya pilihan dan percaya menjadi jalan, sehingga menjadi rasional bagi para pelaku ritual. Padahal, kegiatan itu membahayakan diri sendiri. "Seharusnya orang tidak percaya, perlu dicegah," imbuhnya.
Sayangnya, kegiatan itu tidak terpantau oleh pemerintah desa, baik dari tingkat kampung hingga desa. Akibatnya, warga mudah diajak untuk berangkat mengikuti kegiatan supranatural. "Hal ini perlu dicegah dari hulu, yakni pelaku ritual," kata Heri.
Advertisement