Liputan6.com, Jakarta Tak mudah berdamai dengan gangguan bipolar. Seniman penyintas bipolar, Septa Anggitayuda (32) memerlukan waktu bertahun-tahun untuk bangkit dari depresi. Bipolar menyebabkan suasana hati seseorang berubah cepat. Bipolar yang diidap Anggit, sapaan akrabnya, lebih cenderung terkait depresi. Ia mengalami depresi berkepanjangan.
Baca Juga
Advertisement
Tanpa malu-malu, Anggit menceritakan, pengalaman dan perjuangannya melawan bipolar. Ia didiagnosis bipolar pada 2012. Pada waktu itu, ia sudah lulus kuliah dari Fakultas Seni Institut Teknologi Bandung (FS ITB). Sebelum didiagnosis gangguan bipolar, dokter mendiagnosisnya dengan beberapa penyakit, seperti gangguan panik (panic disorder). Rasa takut dan cemas berlebihan.
“Diagnosis aku sebenarnya berubah-ubah. Aku sempat didiagnosis skizoafektif--gangguan mental kombinasi dari skizofrenia (delusi dan halusinasi) dan gangguan suasana hati. Jadi, yang aku alami itu gejala berupa psikosis, enggak bisa mikir realistis, halusinasi, dan delusi. Aku enggak tahu siapa diri aku, nama juga enggak tahu. Aku pernah ngaku (sebagai) Tuhan. Ya, wajar dialami penderita dalam kondisi seperti itu,” kata Anggit saat berbincang dengan Health Liputan6.com di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, ditulis Selasa (10/4/2018).
Pria kelahiran Jakarta, 12 September 1986 ini mengakui, tidak tahu kenapa bisa mengalami berbagai kondisi gangguan mental. Kondisi itu tiba-tiba munculnya. Ibaratnya hilang akal gitu, lanjut Anggit. Ia juga sempat mengalami psikosomatis, mengeluh sakit, tapi sebenarnya tidak terbukti sakit secara fisik.
Dalam pemeriksaan lebih lanjut, psikiater mendiagnosis penyakit yang didera Anggit berupa gangguan bipolar. Ia juga baru mengakui, dirinya baru mengetahui seluk-beluk bipolar setelah didiagnosis bipolar.
“Sebelumnya aku sama sekali enggak tahu soal bipolar, tapi setelah didiagnosis, aku jadi tahu, apa dan bagaimana bipolar. Aku baca-baca literatur juga,” ujar Anggit sambil mengajak Health Liputan6.com melihat lukisan paradepola yang dibuatnya.
Simak video menarik berikut ini:
Dirawat di rumah sakit jiwa
Akibat gejala bipolar, yang muncul tiba-tiba serta didera berbagai kondisi gangguan mental, seperti skizoafektif, skizofrenia, dan psikosis, Anggit harus menjalani perawatan di salah satu rumah sakit jiwa di daerah Klender, Jakarta. Salah satu tanda gejala bipolar, rasa depresi seketika muncul.
Dari psikiater, Anggit mendapatkan informasi, bipolar yang dideritanya lebih cenderung dialami terkait depresi. Di rumah sakit jiwa itulah Anggit menerima perawatan terapi untuk mengontrol depresi dan emosi negatif lain.
“Aku sementara dirawat di salah rumah sakit jiwa di Klender. Keluar rumah sakit selang setahun kemudian. Tahun 2013, aku bisa bertahan dalam kondisi sendang sakit (bipolar). Seolah-olah, aku berpikir itu nyata. Aku jadinya dirawat di rumah sakit jiwa itu,” tambah Anggit, yang tinggal di Jakarta Utara.
Hingga sekarang, Anggit kontrol ke psikiater sebulan sekali. Sejak didiagnosis bipolar pada 2012, ia tetap minum obat untuk mengontrol depresinya. Kini, Anggit dalam tahap tenang dan normal. Depresi dapat terkontrol baik.
Karena harus minum obat, ia pernah bertanya pada dokter, ‘Bisakah penyintas bipolar bebas obat?’ Dokter yang menangani Anggit berkata, ‘Katanya bisa sih lepas dari obat, tapi buat kasus aku, belum tahu kapan boleh lepas obat. Ia sebenarnya ingin lepas dari obat (tidak minum obat). Efek obat yang membuat Anggit kerap kantuk.
Advertisement
Didera fase manik
Saat masih kantuk, Anggit yang penyintas bipolar tidak hanya merasakan depresi parah, yang berujung pikiran bunuh diri. Ia juga pernah mengalami fase manik atau mania. Dalam fase ini, penderita merasa lebih euforia, terlalu senang, dan percaya diri. Pada fase manik, penderita juga bisa berpikir untuk bunuh diri.
“Pas tahun 2013, entah bagaimana aku konsultasi ke psikolog. Aku cerita soal depresi karena bipolar yang aku idap. Psikolog itu bikin program perawatan supaya depresi hilang. Aku disuruh gambar gitu, yang pada dasarnya aku kan seniman dan suka gambar. Nah, pas aku ngelakuin (menjalani program dari psikolog) malah jadi manik,” ujar Anggit.
Ia kembali konsultasi ke psikiater dan menceritakan pengalaman berobat ke psikolog. Psikiater berkomentar, belum saatnya Anggit berkonsultasi ke psikolog. Artinya, ia harus menjalani perawatan sepenuhnya dengan psikiater.
Sembari berpikir sejenak, Anggit teringat fase manik yang pernah dialaminya. Fase manik terjadi saat ia mendengar musik baru, yang dinyanyikan dengan penyanyi baru. Musiknya enak didengar, ia jadi euforia dan terlalu senang.
“Saking senangnya, ‘Oh, lagu ini enak banget didengar’ aku malah pengen bunuh diri. Biasanya muncul keinginan bunuh diri itu efek dari depresi kan. Ternyata pas manik bisa bikin penderita bunuh diri. ‘Udahlah enak banget lagunya, enggak mau ngapa-ngapain lagi (hidup),” cerita Anggit.
Berhenti sementara melukis
Seluruh lukisan yang dibuat Anggit bertema surealisme—unsur-unsur visual yang sulit dimaknai. Ketika pengunjung atau apresiator seni memandang lukisan, mereka diajak menebak sendiri, bentuk gambar apa yang dilukis Anggit. Anggit mempersilakan pengunjung merepresentasikan sekaligus memaknai bentuk lukisan bertajuk paradepola, pola yang saling tersusun. Namun, bagi Anggit sendiri, lukisan yang dibuatnya tidak punya makna tertentu khusus, ibarat kata nothingless (tanpa makna).
Anggit aktif melukis paradepola sebelum ia didiagnosis bipolar pada 2012. Sejak didiagnosis bipolar, anak ketiga dari tiga bersaudara ini berhenti melukis kurang lebih tiga tahun. Ia berhenti sejenak dari melukis karena tiap kali melukis, baru satu goresan saja membuat ia mual.
“Saat masa depresi, aku paling seiring main gim dan tidur. Waktu itu, aku memang depresi banget. Kayak hidup enggak punya tujuan. Main gim itu aku lakukan cuma karena enggak ada kerjaan. Daripada otak kosong, ya main gim, tapi main gim bukan solusi buat kesembuhan sih. Ya, bikin aku kayak serba salah juga, daripada enggak ada kerjaan, ya udah main gim aja. Aktivitas aku waktu itu cuma main gim sama tidur,” Anggit menambahkan.
Dalam pergulatan berdamai dengan bipolar, Anggit lebih banyak mengalami masa depresi daripada fase manik. Namun, di penghujung April 2017, Anggit termotivasi bangkit dari masa depresi. Ia mencoba kembali melukis paradepola.
"Setelah aku coba melukis lagi, ternyata bisa. Mungkin karena depresi aku lagi menurun, jadi pas melukis ga mual. Aku juga bingung, kenapa mulai melukis pada April 2017. Mungkin sebenarnya, sebelum April 2017 itu aku terlalu depresi. Jadi aku terlalu takut mulai melukis," Anggit menambahkan.
Ia pun aktif melukis. Bagi Anggit, kemampuannya kembali melukis didorong saran psikiater. Saran psikiater harus banyak melakukan kegiatan. Profesi Anggit sebelum sakit memang seniman. Lantas ia berniat kembali melukis.
"Kata psikiater pokoknya harus ada kegiatan. Bagi aku melukis kan salah satu kegiatan yang sebelum sakit (bipolar) sudah biasa aku lakukan. Senang karena aku bisa melakukan aktivitas yang aku lakukan saat sehat dulu," lanjutnya.
Sebelum memutuskan fokus melukis paradepola, yang bertemakan surealisme, Anggit pernah mencoba beberapa aliran melukis, seperti realisme, ekspersionis, abstrak, dan melukis prolog yang mencipratkan atau menumpahkan cat ke kanvas. Ia ingin menggambar objek nyata, tapi entah karena bosan, ia menumpahkan cat ke gambar. Secara visual, cara itu aneh atau makin terlihat rusak, tapi ada proses pengalaman berkarya.
Setelah mencoba berbagai aliran, ia merasa nyaman dengan aliran surealisme. Ada perasaan puas setelah melukis. Namun, bukan puas bermakna keren atau bagus.
"Puasnya itu kok aku bisa ya (kembali melukis). Terlebih lagi, aku merasa gambarku seolah-olah hidup dan bilang, "Kamu ke mana aja, aku kangen digambar.' Semacam aku bisa berkomunikasi dengan gambar sendiri. Ya, kayak makhluk hidup gitu," Anggit tersenyum manis.
Advertisement
Kontrol diri
Anggit sekarang dalam tahap tenang. Tak seperti dulu, fase manik dan depresi bisa mendadak muncul tanpa pemicu. Kini, kedua fase itu muncul harus ada pemicunya. Misal, terlalu stres dan senang. Ada kemajuan untuk mengontrol diri.
Salah satu cara untuk mengontrol depresi, Anggit menceritakan masalah apapun kepada orang terdekat. Ia tidak ingin memendam atau menahan segala permasalahan sendiri. Permasalahan yang diceritakan Anggit juga menjadi bahan konsultasi ke psikiater.
"Aku sebulan sekali kontrol. Pas kontrol ya aku ceritain segala macam permasalahan yang aku alami. Enggak mau nyimpen sendiri. Dulu, mungkin sering nyimpen (permasalahan) jadi depresi," Anggit melanjutkan.
Jika depresi begitu kuat, Anggit mengaku, sukar meredam pikiran depresi tersebut. Bahkan terkadang sulit menerima bantuan orang lain. Niat orang lain yang ingin menghibur justru bisa membuat Anggit makin depresi.
"Saking depresi, aku pernah pengen bunuh diri, baru dipikiran aja sih, enggak sampai pada tahap melakukannya. Kakak aku menghampiri, dia itu ngobrol hal ringan. Aku lupa deh, dia ngomongin apa, tapi itu berpengaruh. Aku jadi lupa kalau lagi depresi. Yah, kadang orang sekitar kita harus pintar menghibur orang yang lagi depresi," ungkap pria, yang merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara.
Jika orang lain terlalu perhatian akan membuat penderita bipolar makin terbebani. Ibaratnya dikasihani orang lain malah makin depresi. Bagi Anggit, satu cara meredam depresi yang bisa dilakukan orang lain terhadap penyintas bipolar adalah memberikan hal yang simpel (sederhana).
"Kasih hal simpel aja yang bikin senang," tutupnya.