Kisah Inspiratif Pelukis Bipolar Atasi Depresi dengan Melukis

Pelukis bipolar Anggit menggeluti lukisan paradepola yang bergaya surealisme demi mengatasi depresi.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 11 Apr 2018, 15:00 WIB
Demi mengatasi bipolar, Anggit kembali melukis paradepola. (Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

Liputan6.com, Jakarta Dalam ajang memperingati Hari Bipolar Sedunia 2018, lima lukisan paradepola bernuansa hitam putih dipajang manis di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Di samping lukisan tertulis judul lukisan #duapuluhempat-# duapuluhdelapan. Tema lukisan yang diangkat berupa surealisme—unsur-unsur visual yang sulit dimaknai. Saat memandang lukisan, pengunjung seakan-akan diajak merepresentasikan sendiri, bentuk pola apa yang diangkat pada lukisan tersebut.

Unsur-unsur visual yang sulit dimaknai adalah nilai estetika yang ditawarkan dalam lukisan paradepola. Kreativitas lukisan paradepola ini rupanya lahir dari tangan seniman penyintas bipolar, Septa Anggitayuda. Ia ikut serta dalam pameran lukisan karena pameran tersebut memfasilitasi seniman untuk berkarya.

Tanpa sungkan, Anggit, begitu dia disapa, menceritakan proses hingga makna lukisan. Judul lukisan dinamakan huruf dan angka, seperti #sembilanbelas-#duapuluhtiga sebagai penanda jumlah lukisan dan waktu yang dihabiskan menyelesaikan lukisan. Lukisan berjudul #duapuluhempat-# duapuluhdelapan berarti Anggit membuat lukisan tersebut selama empat hari.

“Itu sebagai penanda unggahan lukisan ke berapa (yang sudah dibuat), yang juga aku unggah di akun Instagram sendiri. Kalau ditanya meaning (makna) lukisan sebenarnya enggak ada makna apa-apa. Istilahnya nothingless (tanpa makna) gitu,” ujar Anggit (32) saat memulai perbincangan dengan Health  Liputan6.com, ditulis Selasa (10/4/2018).

Berbeda dengan pelukis lain, yang mungkin melukis dari ide, lukisan Anggit justru dimulai tanpa ide. Saat melukis, ia asyik melukis berbagai pola secara bebas, mengalir begitu saja.

“Aku enggak bakal tahu, lukisan aku hasilnya kayak gimana. Itu enggak pernah dipikirin. Ya, pokoknya sambil jalan saja. Aku ini tipe pelukis, yang kalau sifatnya motorik. Gerak dulu (melukis), baru muncul ide. Bukan ide dulu, baru gerak,” lanjutnya.

 

 

Simak video menarik berikut ini:


Objek hasil imajinasi

Hasil lukisan penyintas bipolar Anggit yang dipamerkan di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. (Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

Tema lukisan Anggit yang surealisme menunjukkan, objek atau benda-benda yang dilukis bukan dari alam nyata, melainkan hasil imajinasi. Saat pengunjung melihat lukisannya, pengunjung tidak dapat menebak secara pasti, gambar apa yang dilukis Anggit.

“Paling cuma bilang, ‘Oh, ini kayak gambar usus atau otak,’ tapi enggak bisa memastikan gambar itu benar-benar usus atau otak secara nyata. Ini karena bentuk yang aku buat memang enggak ada di alam nyata. Ini juga gambar iseng atau fun (menyenangkan) aja,” Anggit menjelaskan.

Menyoal lukisan berwarna hitam putih, ia mengakui sudah nyaman menggunakan hitam putih. Lukisan pun lahir dari alam bawah sadar. Semua benda yang dilukis lahir dari alam bawah sadar. Anggit juga tidak tahu, pemicu apa yang terjadi sehingga ia melukis dengan bentuk berbagai pola.

“Mengalir aja, mungkin ada tahap nge-bayangin apa, tapi itu cuma muncul sekilas. Aku modifikasi gambar juga, ditambahin bentuk ini itu. Biar fun (menyenangkan) aja. Ibaratnya begini, aku mau gambar balon. Pas aku bikin,  kok aku enggak suka bentuk balon itu. Akhirnya aku ubah, ditambahin garis dan bentuk lain,” lanjut pria kelahiran Jakarta, 12 September 1986.

Yang utama bagi Anggit saat melukis, ia menghindari unsur visual yang membuat orang lain tahu benda apa yang dilukisnya. Dalam praktiknya, ia tidak kesulitan karena sudah biasa gambar. Anggit pun lulusan seni rupa di Fakultas Seni Institut Teknologi Bandung (FS ITB).


Bakat melukis sejak kecil

Pelukis bipolar Anggit lulusan FS ITB. (Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

Lukisan yang dibuat Anggit ternyata bukan hasil ilmu yang dipelajari saat dirinya masih kuliah. Selama kuliah di FS ITB, mahasiswa tidak diajarkan teknik atau cara menggambar secara konkret. Anggit mendalami sendiri gaya melukisnya. Jenis lukisan paradepola pun ia kembangkan.

“Enggak tahu deh, kalau di akademi lain diajarkan cara menggambar. Kalau di akademi aku ya teori aliran aja. Soal teknik dikembangkan sendiri. Lukisan aku juga bukan proses belajar dari dosen. Awalnya, gambar sketsa iseng dan fun aku aja. Jadilah paradepola, artinya pola yang berparade,” Anggit menjelaskan sambil menunjukkan lukisannya.

Paradepola juga berarti gambar pola yang saling disusun. Ketika mulai menggambar paradepola, Anggit mengatakan, gambar tersebut berbeda dari gambar yang ia buat untuk tugas kuliah. Artinya, tugas gambar yang ia serahkan ke dosen berbeda, bukan gambar paradepola. Namun, saat tingkat kelima kuliah, ia memberanikan diri memberikan gambar paradepola untuk dinilai dosen.

“Nah, pas tingkat kelima kuliah, aku kasih sketsa paradepola ke dosen. Dosen aku langsung bilang, ‘Kenapa enggak bikin kayak gini aja dari dulu (untuk penilaian)?’ Sejak itu, aku kembangin. Entah kenapa aku nyaman melukis paradepola,” jawab Anggit sambil tertawa.

Keaktifan Anggit melukis ternyata sudah tertanam sejak kecil. Bakat menggambar tersebut sudah diamati sang ibu.

“Kalau mulai aktif menggambar sejak kecil. Waktu itu pas aku TK atau  SD. Karena ngeliat aku suka gambar, ibu pernah komentar, ‘Git, kamu nanti kuliah di FS ITB aja. Aku balas, “Lho, emangnya FS ada di ITB juga?’ Eh, enggak tahunya terwujud. Aku memang suka gambar dari kecil,” tambah Anggit, anak ketiga dari tiga bersaudara.


Lawan depresi lewat lukisan

Pelukis bipolar Anggit sempat dirawat di rumah sakit jiwa. (Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

Keterangan tertulis di samping lukisan, yang dipajang di Galeri Cipta III memaparkan, seluruh lukisan paradepola dibuat pada April 2017. Proses melukis paradepola setahun lalu ternyata hasil perlawanan Anggit dengan depresi. Depresi muncul dari gangguan bipolar yang diidapnya.

Ia didiagnosis bipolar pada 2012. Waktu itu, ia sudah lulus kuliah. Pada awalnya, dokter mendiagnosis dirinya dengan gangguan panik (panic disorder), timbul rasa takut dan cemas berlebihan. Setelah diperiksa lebih lanjut, gangguan panik muncul dipengaruhi bipolar. Bipolar adalah gangguan mental yang ditandai perubahan suasana hati yang drastis.

Bipolar pun membuat Anggit mengalami depresi dalam jangka waktu cukup lama. Ia mengungkapkan, masa-masa depresi membuat dirinya berpikiran negatif. Pikiran seperti ‘Untuk apa aku hidup?’ sampai pikiran bunuh diri menyelimuti otaknya. Ia bahkan sempat berhenti melukis kurang lebih tiga tahun.

“Saat masa depresi, setiap kali aku gambar, meski baru buat goresan sedikit aja, aku merasa muak dan jijik. Aku malah jadi mual. Mencoba melukis kok rasanya jelek banget. Ini karena dipengaruhi sama depresi,” Anggit menceritakan dengan ekspresi sendu.

Niat ingin sembuh dari depresi muncul pada April 2017. Ia memotivasi dirinya sendiri. Ia juga tidak tahu, kenapa motivasi untuk lepas depresi baru muncul pada saat itu. Anggit menduga depresinya sudah menurun dan terkontrol.

“Sekarang pokoknya harus gambar lagi. Mau gambar jelek atau enggak. Lalu aku gambar paradepola lagi. Dan aku bisa tahan gambar paradepola. Tiap hari aku unggah gambar paradepola di Instagram. Ternyata aku bisa gambar lagi, sama seperti sebelum aku sakit (bipolar),” lanjutnya.

Anggit pun terus melukis hingga sekarang. Kondisi pria yang tinggal di Jakarta ini dalam tahap tenang. Ia juga membuat jadwal melukis. Ia biasa melukis dari pukul 07.00-12.00 WIB. Meski begitu, Anggit kadang juga melukis saat siang atau sore hari.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya