Liputan6.com, Jakarta: Tragedi Santa Cruz adalah sejarah kelam dalam perjalanan bangsa Timor Loro Sae. Insiden berdarah yang terjadi 12 November 1991, bukan hanya menewaskan sekitar 271 orang tewas--versi pemerintah 19 orang dan Komisi Penyelidik Nasional 50 orang, tapi juga melorotkan citra Indonesia di mata dunia internasional. Peristiwa penembakan itu seolah menjadi titik balik dari semua perjuangan, pengorbanan, dan pembangunan yang dilakukan pemerintah Indonesia di Timor Timur.
Dampak Tragedi Santa Cruz memang sangat luar biasa. Mata negara asing langsung menyorot tajam ke Indonesia. Ini membuat perjuangan diplomasi yang menjelaskan keberhasilan pembangunan di Timtim seakan menjadi sia-sia. Negara yang sebelumnya memberi lampu hijau atas Operasi Seroja (1975), langsung berbalik drastis bereaksi negatif. Mereka mempertanyakan, kematian 250 warga setempat dan melukai 382 orang dalam sebuah pemakaman seorang warga anti-integrasi. Buntutnya, Amerika Serikat membatalkan program pertukaran belajar perwira militer (Exchange International Military Education and Training) secara sepihak.
Perlahan tapi pasti, isu integrasi dan pilihan menjadi negara merdeka meruyak di Bumi Loro Sae. Presiden B.J. Habibie yang memimpin pemerintahan transisi berupaya agar masalah Timtim segera tuntas. Caranya, ia berulang kali melontarkan opsi Otonomi Khusus untuk bekas provinsi ke-27 itu. Namun, pada saat opsi dimatangkan antara Indonesia, Portugal, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Habibie kembali melemparkan opsi kedua, 27 Januari 1999. Isinya, apabila opsi pertama ditolak, maka diusulkan agar Timtim berpisah dari pangkuan RI secara baik, terhormat, tertib, dan konstitusional.
Rencana Habibie kontan ditanggapi secara pro-kontra di Timtim. Ada yang setuju tetap bergabung dengan RI, ada pula yang bersikeras untuk merdeka. Kedua kelompok ini terus mempersiapkan diri dan berkonsolidasi. Untuk menghindari benturan antarkelompok, TNI/Polri mempertemukan mereka.
Tak hanya itu. "Getaran" di Dili juga terasa di Jakarta. Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto dan sejumlah petinggi militer aktif bertemu dan berdialog dengan Gubernur Abilio Soares dan Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo. Tujuannya, agar masyarakat Timtim kembali hidup berdampingan secara damai.(ULF/Tim Liputan 6 SCTV)
Dampak Tragedi Santa Cruz memang sangat luar biasa. Mata negara asing langsung menyorot tajam ke Indonesia. Ini membuat perjuangan diplomasi yang menjelaskan keberhasilan pembangunan di Timtim seakan menjadi sia-sia. Negara yang sebelumnya memberi lampu hijau atas Operasi Seroja (1975), langsung berbalik drastis bereaksi negatif. Mereka mempertanyakan, kematian 250 warga setempat dan melukai 382 orang dalam sebuah pemakaman seorang warga anti-integrasi. Buntutnya, Amerika Serikat membatalkan program pertukaran belajar perwira militer (Exchange International Military Education and Training) secara sepihak.
Perlahan tapi pasti, isu integrasi dan pilihan menjadi negara merdeka meruyak di Bumi Loro Sae. Presiden B.J. Habibie yang memimpin pemerintahan transisi berupaya agar masalah Timtim segera tuntas. Caranya, ia berulang kali melontarkan opsi Otonomi Khusus untuk bekas provinsi ke-27 itu. Namun, pada saat opsi dimatangkan antara Indonesia, Portugal, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Habibie kembali melemparkan opsi kedua, 27 Januari 1999. Isinya, apabila opsi pertama ditolak, maka diusulkan agar Timtim berpisah dari pangkuan RI secara baik, terhormat, tertib, dan konstitusional.
Rencana Habibie kontan ditanggapi secara pro-kontra di Timtim. Ada yang setuju tetap bergabung dengan RI, ada pula yang bersikeras untuk merdeka. Kedua kelompok ini terus mempersiapkan diri dan berkonsolidasi. Untuk menghindari benturan antarkelompok, TNI/Polri mempertemukan mereka.
Tak hanya itu. "Getaran" di Dili juga terasa di Jakarta. Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto dan sejumlah petinggi militer aktif bertemu dan berdialog dengan Gubernur Abilio Soares dan Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo. Tujuannya, agar masyarakat Timtim kembali hidup berdampingan secara damai.(ULF/Tim Liputan 6 SCTV)