Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan, yang mewakili lembaganya dalam uji materi Undang Undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) memandang, para pemohon tidak memiliki legal standing atau dasar hukum, dalam mengajukan perkara.
Adapun pemohon yang dimaksud, yaitu dari Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Serta dari perseorangan yang merupakan mahasiswa dan alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dan Josua Satria Collins.
Advertisement
Pasal yang diuji, dalam UU MD3 Nomor 2 Tahun 2018 itu, yakni, Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 122 huruf l, serta Pasal 245 ayat (1).
"DPR RI berpandangan bahwa para pemohon secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing. Karena tidak memiliki relevansi dengan permohonan a quo dan tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 Ayat (1), dan penjelasan Undang-Undang MK, tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional, dalam putusan MK terdahulu," ucap Arteria dalam persidangan MK, Jakarta, Rabu (11/4/2018).
Dia pun menyerahkan sepenuhnya kepada para hakim MK untuk mempertimbangkan dan menilai, apakah berkedudukan hukum atau tidak.
Dia menilai, para pemohon UU MD3 juga tidak mengalami kerugian konstitusional apapun dari diberlakukannya pasal-pasal tersebut. Karena, yang dipandang sebagai kerugian, baru bersifat potensi atau kekhawatiran semata.
"Artinya kekhawatiran pemohon untuk dipanggil atau diundang oleh DPR untuk dimintai keterangan dalam RDP (Rapat Dengar Pendapat) yang berujung kepada pemanggilan paksa dan dapat dianggap merendahkan DPR RI, tidak dapat serta merta dilakukan begitu saja kepada pemohon tanpa alasan yang jelas. Mengingat pasal aquo mengandung unsur prosedural yang dilaksanakan berdasarkan administrasi negara," jelas Arteria.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Uji Materi UU MD3
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan untuk empat perkara pengujian Undang Undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3).
"Agenda sidang Rabu (11/4) adalah mendengarkan keterangan pihak Presiden dan keterangan DPR dalam pengujian UU MD3," ujar juru bicara MK Fajar Laksono melalui pesan singkat di Jakarta, Rabu.
Dilansir dari Antara, empat perkara ini diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), dan tiga perserorangan warga negara Indonesia.
Sebelumnya pada Selasa 3 April 2018, MK sempat menunda sidang lanjutan dengan agenda yang sama untuk empat perkara ini, karena baik dari DPR maupun dari Pemerintah meminta Majelis Hakim Konstitusi supaya sidang dijadwalkan ulang.
Dalam dalil permohonan, empat perkara tersebut menggugat ketentuan dalam Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4) huruf a dan c, Pasal 73 ayat (5), Pasal 122 huruf k, dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3.
Dalam berkas perkara yang diterima MK, para pemohon menyebutkan bahwa pasal-pasal dalam UU MD3 tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum, perlakuan tidak adil di hadapan hukum bagi masyarakat, bahkan pelanggaran hak asasi manusia.
Pasal 73 ayat (3), ayat (4) huruf a dan c, dan ayat (5) menyatakan bahwa DPR berhak melakukan pemanggilan paksa melalui pihak kepolisian, bila ada pejabat, badan hukum, atau warga negara yang tidak hadir setelah dipanggil tiga kali berturut-turut oleh DPR.
Sementara Pasal 73 ayat (5) menyebutkan bahwa dalam menjalankan panggilan paksa tersebut Polri diperbolehkan menyandera setiap orang paling lama 30 hari.
Pemohon menilai Pasal 122 huruf k telah bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia, karena dalam pasal tersebut memuat ketentuan bahwa DPR akan melakukan langkah hukum bagi siapapun yang merendahkan martabat dan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Hal ini kemudian dinilai para pemohon merupakan upaya pembungkaman suara rakyat dalam memberikan kritik kepada penguasa legislatif, yang kemudian bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan demokrasi.
Sedangkan Pasal 245 ayat (1) memuat bahwa setiap anggota DPR memiliki hak imunitas secara luas, sehingga hal ini mengancam kepastian hukum yang adil, juga mengancam adanya diskriminasi di hadapan hukum.
Advertisement