ESDM: Kenaikan Harga Harus Dapat Persetujuan Agar BBM Non-Subsidi Tetap Laku

Melalui persetujuan kenaikan harga BBM non-subsidi, pemerintah juga menghilangkan batas bawah keuntungan penjualan harga BBM non-subsidi

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 12 Apr 2018, 18:17 WIB
Sejumlah pengendara motor saat tengah mengisi bahan bakar di salah satu SPBU di Kuningan, Jakarta, Senin (19/1/2015). (Liputan6.com/Miftahul Hayat)

Liputan6.com, Jakarta ‎Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan tujuan lain dari rencana penetapan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non-subsidi harus mendapat persetujuan pemerintah.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Djoko Siswanto‎ mengatakan, melalui persetujuan kenaikan harga BBM non-subsidi, pemerintah juga menghilangkan batas bawah keuntungan penjualan harga BBM non-subsidi yang sebelumnya ditetapkan 5 persen. Dengan begitu, badan usaha bisa menetapkan harga lebih rendah karena keuntunganya bisa jauh lebih rendah.

"Sebelumnya kan di batas bawah untungnya 5 persen. Sekarang itu dihilangkan, tapi batas maksimum 10 persen. Jadi dia tidak bisa ngusulin harga yang marginnya di atas 10 persen. Dia bisa ngajuin sampai 10 persen, tapi harus dapat persetujuan menteri," kata Djoko, di Jakarta, Kamis (12/4/2018).

Dengan harga yang jauh lebih rendah, maka harga yang ditetapkan dapat mendekati harga Premium sebesar Rp 6.450 per liter untuk di luar wilayah Jawa, Madura dan Bali (Jamali) dan Rp 6.550 per liter untuk di wilayah Jamali. Sehingga masyarakat tetap menggunakan BBM non-subsidi dan tidak akan beralih ke Premium.

"Kita bisa menentukan kalau dengan harga yang dia usulkan katakan 6 persen atau 5 persen, itu mengakibatkan perbedaan harga yang besar dengan premium. Kalau harga besar otomatis masyarakat beralih kan," tutur Djoko.

Djoko mengakui, kebijakan tersebut juga akan berpengaruh pada pendapatan perusahaan. Pasalnya, dengan keuntungan lebih sedikit dan harga tidak naik tinggi maka masyarakat akan tetap mengkonsumsi BBM non-subsidi, ketimbang keuntungan besar namun penjualan BBM non subsidi‎ berkurang karena masyarakat beralih ke Premium.

"Ngapain kamu jualan tapi nggak ada yang beli, mendingan harga dikurangin tapi dapat margin, katakan 1 persen saja, sehingga harganya mendekati Premium. Dengan demikian, jualan dia bisa tetap laku meskipun hanya 1 persen," ucap Djoko.

Djoko mengungkapkan, kebijakan baru terhadap penetapan kenaikan harga yang harus mendapat persetujuan pemerintah menguntungkan semua pihak, masyarakat tetap bisa menjangkau BBM dengan kulitas baik dan badan usaha ‎tidak mengalami penurunan penjualan.

"Jadi persetujuan ini menguntungkan semua pihak. Masyarakat bisa tetap menggunakan BBM berkualitas tinggi dengan harga yang tidak terlalu jauh," tandasnya.


Tetapkan Harga Pertamax Cs Harus Izin Pemerintah, Sri Mulyani Sebut Sesuai Aturan

Petugas SPBU saat melayani pengemudi motor untuk menuangkan BBM jenis Pertalite di SPBU Coco, Abdul Muis, Jakarta, Jumat (25/7/2015). Partalite dijual dengan harga Rp.8400 perliter. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Pemerintah akan membuat aturan baru mengenai perubahan harga bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi atau Pertamax cs. Dalam aturan tersebut, badan usaha seperti Pertamina, Shell, maupun Total nantinya harus meminta izin pemerintah sebelum mengubah harga jual BBM miliknya.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan, kebijakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan badan usaha dan juga masyarakat sebagai konsumen. Hal tersebut juga telah diatur dalam Perpres No 191 tahun 2014 mengenai operasi BBM terutama pada level retail.

"Jadi yang dilakukan oleh Pak Jonan (Menteri ESDM) dalam hal ini adalah melaksanakan aturan tersebut dalam rangka meyakinkan dari sisi margin profit itu sesuai dengan apa yang ditetapkan sehingga bisa menimbulkan keseimbangan," ujarnya di Gedung DPR-MPR, Jakarta, Rabu (11/4).

"Di satu sisi, investor merasa bahwa kebutuhan mereka dan kepastian berusaha mereka dijaga. Tapi di sisi lain pemerintah bisa menjaga kepentingan masyarakat bahwa BBM itu adalah salah satu komoditas yang penting. Kita tidak ingin menunjukkan kalau kita back tracking," ia menambahkan.

Sri Mulyani melanjutkan, dalam hal ini yang akan difokuskan adalah pelaksanaan (enforcement) dan instrumen kebijakan yang bisa menjaga masyarakat tetap memiliki keyakinan bahwa di tengah kondisi global yang tidak menentu ekonomi Indonesia masih tumbuh di atas 5 persen.

"Kita bisa menahan guncangan yang berasal dari luar. Apakah itu guncangan dari harga minyak, potensi perang dagang, kenaikan suku bunga The Fed. Kita harus menjaga perekonomian kita punya daya tahan terhadap berbagai potensi guncangan itu dan inilah yang dilakukan pemerintah," jelasnya.

Reporter: Anggun P Situmorang

Sumber: Merdeka.com

 

Tonton Video Ini:

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya