Liputan6.com, Solo Keraton Kasunanan Surakarta menggelar upacara tingalan dalem jumenengan ke-14 Raja Paku Buwono XIII, Kamis, 12 April 2018. Prosesi kenaikan takhta itu pun sedikit berbeda karena tari Bedhaya ketawang yang menjadi tarian sakral dan wajib, ternyata durasinya dipersingkat.
Untuk menyambut prosesi tingalan dalem jumenengan sang raja, Keraton Kasunanan Surakarta atau yang sering disebut Keraton Solo pun bersolek. Hiasan penjor janur kuning terpasang di bagian depan keraton.
Baca Juga
Advertisement
Sejumlah abdi dalem dengan busana adat Jawa tampak berdatangan ke keraton melalui Kori Kamandungan sejak Kamis pagi. Tak hanya itu, sejumlah tamu juga berdatangan ke keraton sejak pukul 09.15 WIB.
Tamu kehormatan yang pertama hadir adalah calon Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin Maimoen yang merupakan pasangan Ganjar Pranowo. Kemudian disusul anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Subagyo HS.
Setelah itu, berturut-turut tamu penting yang hadir di antaranya, Menko Polhukam Wiranto serta ibunda Presiden Jokowi, Sujiatmi Notomiharjo. Kedatangan ibunda presiden yang mengenakan pakaian kebaya berwarna pink itu didampingi oleh kedua putrinya.
Kapolda dan Pangdam Terima Gelar Bangsawan
Dua tamu selanjutnya adalah Kapolda Jawa Tengah, Irjen Pol Condro Kirono dan Pangdam IV Diponegoro, Mayjen TNI Wuryanto. Kedua petinggi Polri dan TNI di Jawa Tengah itu kompak mengenakan busana adat Jawa, beskap jangkep. Pasalnya, mereka memperoleh gelar kebangsawanan dari sang raja.
Kapolda dan Pangdam mendapatkan gelar Kanjeng Pangeran Haryo (KPH). Selain dua tokoh itu, pejabat yang memperoleh gelar KPH adalah Gubernur Kalimantan Barat dan Bupati Kutai Kartanegara.
Prosesi tingalan dalem jumenengan atau perayaan ulang tahun penobatan raja itu diawali dengan keluarnya Raja Paku Buwono XIII Hangabehi dari Dalem Ageng menuju Pendhapa Agung Sasana Sewaka. Kemudian, sang raja dibantu sang permaisuri duduk di dampar kencana yang menjadi singgasananya.
Setelah itu, prosesi dilanjutkan dengan ngabekten atau memberikan penghormatan kepada sinuhun yang dilaukan para sentana dalem dan kerabat. Mereka berjalan jongkok untuk sowan di hadapan Raja Keraton Solo. Prosesi itu dilanjutkan oleh para abdi dalem keraton.
Advertisement
Tari Sakral Bedhaya Ketawang
Peringatan tingalan dalem jumenengan ini selalu dipentaskan tarian sakral Bedhaya Ketawang. Tarian yang menampilkan sembilan penari gadis itu hanya diperbolehkan tampil untuk acara jumenengan saja.
Namun, prosesi tingalan dalem jumenengan kali ini sedikit berbeda. Tarian Bedhaya Ketawang yang seharusnya ditarikan selama dua jam, hanya dipentaskan selama 30 menit.
"Durasi tarian Bedhaya ketawang dikurangi, mengingat kondisi sinuhun (Paku Buwono XIII) yang sedang recovery sehingga tidak capek," kata Pengageng Parentah Keraton Surakarta, KGPH Dipokusumo, Kamis, 12 April 2018.
Alasan Pengurangan Durasi Tari Sakral
Dia menjelaskan, jika sinuhun harus melihat tarian Bedhaya Ketawang selama dua jam kondisinya tidak memungkinkan. "Salah satu caranya dengan mengurangi durasi waktu menarinya," ujar Dipukusumo yang juga Ketua I Tata Acara Tingalan Dalem Jumenengan ke-14 Paku Buwono XIII.
Meski demikian, pengurangan durasi waktu menari itu tidak akan berlangsung selamanya. Pasalnya, ke depan akan tetap disuguhkan selama dua jam penuh supaya sesuai dengan pakemnya.
"Supaya masyarakat dan keluarga tahu pakemnya tarian itu bagaimana," ungkapnya.
Advertisement
Para Penari Harus Perawan
Bedhaya Ketawang adalah tarian sakral di Keraton Solo. Mereka yang memperagakan harus berjumlah sembilan penari perempuan. Tak hanya itu, para penari ini tidak boleh sedang datang bulan saat menarikan Bedhaya Ketawang.
"Semuanya harus gadis dan masih perawan. Kalau sedang menstruasi pun tidak boleh menari," kata dia.
Jika dirunut sejarah Bedhaya Ketawang ini merupakan tarian yang menggambarkan pertemuan PB I atau Panembahan Senopati dengan penguasa Laut Selatan.
"Dalam filosofi Jawa, raja yang bertakhta adalah mereka yang bisa menguasai lautan, " ujarnya.
Penari Bedhaya Ketawang Dari Luar Tembok Keraton
Penari Bedhaya Ketawang biasanya telah dikader dan menjadi abdi dalem keraton. Hanya saja dalam pentas tari kali ini, semua penari adalah siswi SMK N 8 Solo.
"Memang kalau ada suatu hal, kami berupaya mendapatkan ganti. Syukur alhamdulilah, ini bisa dari SMKI (SMK N 8) penarinya," ujar dia.
Adapun untuk ritual para penari yang akan mementaskan tarian Bedhaya Ketawang, Dipokusumo mengatakan tetap menjalani ritual seperti para penari sebelumnya yang berasal dari keraton.
"Biasanya ritual itu selama tujuh hari. Mereja juga mengikuti ritual itu. Kalau dulu penari bedhaya-nya disengker (karantina) semalam tapi ini sejak awal telah disengker," ujarnya.
Advertisement
Protes Pakem Tarian Sakral
Perubahan tradisi yang sudah bertahan beratus tahun ini mendapat respons dari keluarga Keraton Solo. Adik kandung PB XIII, GKR Wandansari Koes Moertiyah mengaku tarian Bedhaya Ketawang yang diperagakan saat itu menyalahi pakem.
"Tarian itu sakral. Mulai dari pemilihan penari dan ritualnya. Semua ada aturannya, tidak boleh dilanggar. Inti jumenengan raja adalah njumengne Bedhaya Ketawang yang juga jadi tugas raja, " kata dia yang merupakan kubu berseberangan dengan PB XIII.
Hanya saja dalam prosesi peringatan kenaikan tahta raja itum GKR Wandansari Koes Moertiyah tidak hadir. Terkait tidak hadirnya adik kandung raja itu juga diamini oleh KGPH Dipokusumo. Menurutnya, panitia tingalan dalem jumenengan telah mengundang semua kerabat tanpa menyebutkan secara detail namanya.
"Dalam undangan tertulis mengundang putra-putri dalem, para sentana dalem tanpa menyebut nama, kecuali yang mendapatkan tugas khusus pasti akan mendapat surat khusus," ucapnya.