Liputan6.com, Jakarta - Terdakwa korupsi proyek e-KTP, Setya Novanto membacakan nota pembelaan pribadinya di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Dia keberatan dituntut mengembalikan uang pengganti dengan total US$ 7,3 juta seperti pada tuntutan Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dia menampik tuntutan JPU yang mengatakan penerimaan hasil korupsi proyek e-KTP dilakukan secara tidak langsung melalui Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, Direktur PT Murakabi Sejahtera sekaligus keponakan Novanto, dan Made Oka Masagung selaku pemilik OEM Investment.
Advertisement
Pada fakta persidangan sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum pada KPK mengungkap alur penerimaan uang korupsi untuk Novanto melalui Irvanto sebesar US$ 3,5 juta menggunakan jasa money changer.
"Terlihat jelas Irvanto benar menerima uang dari Riswan alias Iwan Barala pemilik PT Inti Valuta sebesar US$ 3,5 juta namun peruntukannya secara langsung atau tidak langsung bukan untuk saya melainkan untuk Andi. Tidak relevan jika saya harus mengembalikan US$ 3.5 juta," ujar Setya Novanto, di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Jumat (13/4/2018).
Menurutnya, dalam kasus ini, Irvanto hanya bertindak sebagai kurir uang dari Andi Agustinus alias Andi Narogong kepada beberapa pihak di DPR.
"Penerimaan dari Andi US$ 1 juta yang kemudian diminta agar diserahkan kepada Melcias Markus Mekeng, dan Markus Nari. Namun menurut Irvanto uang tersebu diserahkan langsung kepada Mekeng di ruang fraksi Golkar lantai 12 gedung DPR RI," ujar dia.
Kemudian, Novanto mengatakan, keponakannya itu kembali diminta Andi mengantar SGD 100 ribu kepada Jafar Hafsah. Keterangan yang disampaikan Irvanto tersebut menurut Novanto diungkap saat konfrontasi di KPK.
"Irvanto lebih dulu info ke saya diterima dari Andi US$ 500 ribu, kemudian diminta antar ke Chairuman Harahap, Irvan antar sendiri di rumah yang bersangkutan," kata dia.
Saat konfrontasi tersebut, imbuh Setya Novanto, Irvan kembali diminta mengantar uang oleh Andi kepada Chairuman sebesar SGD 1 juta. Penyerahan uang tersebut dilakukan di Hotel Mulia, Jakarta.
Andi, kemudian menggelontorkan uang lagi sebesar US$ 1 juta untuk anggota Komisi II DPR yang menurut Irvanto menurut diserahkan kepada Agun Gunanjar.
"Kemudian SGD 500 ribu untuk Komisi II melalui Agun Gunanjar di Senayan City," beber Novanto.
"Saya tegaskan sekali lagi saya tidak pernah memerintahkan untuk menerima dan membagi uang," imbuh Novanto.
Sementara penerimaan melalui Made Oka Masagung, Novanto mempertanyakan kesaksian yang membuktikan tuntutan JPU. Dalam tuntutannya, JPU menyebut penerimaan melalui Made sebesar US$ 3,8 juta.
"Pidana tambahan uang pengganti US$ 7,3 jelas tidak mendasar. Kesimpulan JPU yang menyatakan saya menerima secara tidak langsung melalui Made Oka dan Irvanto tanpa didukung oleh bukti dan keterangan saksi di persidangan. Kalau lah saya harus bayar uang pengganti US$ 7,3 juta apakah ada seorang saksi yang mengatakan saya menerima dana e-KTP?" ucap Setya Novanto.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Kembalikan Jam Tangan Mewah
Setya Novanto mempersoalkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum pada KPK terkait kewajibannya membayar uang pengganti sekitar US$ 135 ribu dari penerimaan jam tangan mewah Richard Mille dari Andi Agustinus alias Andi Narogong dan Johannes Marliem. Novanto menilai jam tangan tersebut telah dikembalikan kepada Andi.
Dalam nota pembelaannya, Setya Novanto mengaku pernah menerima jam tangan pabrikan Paris itu dari Andi sebagai hadiah ulang tahun. Sekitar Desember 2016, jam tangan tersebut ia kembalikan ke Andi karena rusak dan tidak terdapat sertifikatnya.
Setelah dikembalikan, Andi menjual jam tangan tersebut di harga Rp 1.000.050.000 miliar. Uang hasil jual jam tersebut kemudian dibagi Andi dan Marliem.
"Jam tersebut dijual di Tata Meta seharga Rp 1.000.050.000 hasil penjualan dibagi sebesar Rp 650 juta untuk Andi dan Rp 350 juta diberikan kepada Marliem. Dengan demikian tidak relevan saya harus menanggung USD 135 ribu sementara jam tangan tersebut sudah saya kembalikan kepada Andi bahkan sudah dijual," ujar Novanto.
Reporter: Yunita Amalia
Advertisement