Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengakui bahwa untuk membangun infrastruktur di Indonesia sangat tidak mudah. Banyak tantangan yang harus dihadapi. Namun meskipun banyak tantangan, infrastruktur harus tetap dibangun guna meningkatkan daya saing Indonesia.
Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Marga Kementerian PUPR Arie Setiadi Moewanto mengungkapkan, pemerintah terus mendorong pembangunan infrastruktur. Alasannya, adanya infrastruktur memberikan dampak yang banyak bagi ekonomi.
Advertisement
Namun memang, untuk membangun infrastruktur ada banyak tantangan yang harus dihadapi.
"Tantangan yang dihadapi antara lain disparitas antar-wilayah, terutama antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI)," ungkapnya di kompleks Universitas Indonesia, Jumat (13/4/2018).
Selain itu, daya saing nasional masih harus terus didorong, salah satunya melalui peningkatan konektivitas. Tingkat urbanisasi yang tinggi yaitu sebesar 53 persen penduduk tinggal pada kawasan perkotaan juga menjadi tantangan.
"Juga pemanfaatan sumber daya yang belum optimal dalam mendukung kedaulatan pangan dan energi," kata Arie.
Karena itu dia menegaskan, untuk menjawab tantangan-tantangan di atas, menempatkan infrastruktur sebagai prioritas kebijakan pembangunan nasional merupakan pilihan yang logis dan strategis untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Ketersediaan dan kualitas infrastruktur yang memadai, kata dia bakal berkontribusi pada peningkatan daya saing infrastruktur Indonesia.
Peringkat daya saing infrastruktur Indonesia yang semula ada di urutan 78 pada tahun 2012-2013, menjadi urutan 52 (dari 137 negara) saat ini, merupakan modal dalam upaya menarik investasi ke Indonesia.
"Kita menyadari sepenuhnya bahwa infrastruktur yang handal merupakan kunci utama dalam meningkatkan daya saing Indonesia," tandasnya.
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Atasi Kesenjangan
Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) melihat penanganan masalah ketimpangan yang menjadi perhatian pemerintah mulai menunjukkan tren membaik.
Indikasi tersebut menurut Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro dapat dilihat dari pencapaian koefisien gini yang mulai ada tanda perbaikan. Bambang menyebutkan koefisien gini berada di angka 0,413 pada 2012-2014, tetapi tren menurun sejak 2015-2017.
Data 2017 menunjukkan sudah lebih dekat ke angka 0,39 atau menjauh dari 0,40. Secara konsep kalau koefisien gini 0,40, berarti tingkat ketimpangan sudah perlu diwaspadai karena berpotensi menimbulkan gejolak sosial yang tentunya tidak diinginkan.
"Namun, dengan perbaikan yang terus menerus, saat ini koefisien gini berada di 0,391 dan tentunya kami harapkan trennya terus membaik," ujar Bambang kepada wartawan, Kamis (29/3/2018).
Sebelumnya, Bambang juga menyatakan masalah ketidakmerataan dan ketimpangan bukan hanya isu untuk Indonesia saja, melainkan juga menjadi isu dunia.
Di Indonesia, kata Bambang, selain ketimpangan antarindividu, pembangunan Indonesia juga dihadapkan pada ketimpangan antarwilayah, baik antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI); maupun antara daerah tertinggal dan daerah maju.
Sekitar 80,15 persen kontribusi wilayah terhadap pertumbuhan ekonomi nasional berasal dari Kawasan Barat Indonesia, khususnya Pulau Jawa dan Sumatera.
Sementara itu, kawasan Timur Indonesia masih belum berkontribusi secara optimal terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam soal kesenjangan antarwilayah, pertanyaannya bukan bagaimana menghilangkan kesenjangan wilayah, tapi bagaimana mengurangi kesenjangan yang sebenarnya juga tidak gampang.
"Di Indonesia, pulau Jawa menyumbang 58 persen PDB, sementara luar Jawa 42 persen PDB," ujar Bambang.
Advertisement