Liputan6.com, London - Lewat unggahan video akun @10DowningStreet, PM Inggris Theresa May membenarkan bahwa dirinya telah memberi wewenang kepada angkatan bersenjata Inggris untuk melakukan serangan terkoordinasi dan terarah guna menurunkan kemampuan senjata kimia di Suriah.
Hal ini disampaikan oleh Theresa May sebagai tindak lanjut serangan senjata kimia yang menewaskan puluhan orang (termasuk anak-anak) di Douma, pekan lalu.
Advertisement
"Kami bertindak bersama dengan Amerika Serikat dan Prancis. Fakta dari serangan ini memang tidak mengejutkan. Rezim Suriah punya catatan sejarah soal penggunaan senjata kimia terhadap rakyatnya sendiri. Cara ini sangat kejam dan menjijikan," ujar PM Theresa May dalam unggahan video berdurasi 04.07 menit tersebut.
"Sebagian besar informasi yang didapat, termasuk laporan intelijen menunjukkan jika Suriah bertanggungjawab atas serangan tersebut," tambahnya.
Menurut Theresa May, pola seperti ini harus segera dihentikan. Bukan hanya untuk melindungi orang yang tidak bersalah di Suriah, tetapi juga untuk mencegah tindakan serupa pada negara-negara lain.
"Kami telah berusaha menggunakan diplomasi untuk mencapai itu semua. Tetapi, upaya semacam ini berulang kali digagalkan. Bahkan, minggu ini Rusia memveto Resolusi di Dewan Keamanan PBB dan akan membentuk penyelidikan independen terhadap serangan di Douma," jelas Theresa.
"Jadi, tidak ada alternatif praktis lain untuk menghalangi aktivitas senjata kimia, selain aktivitas militer," tambahnya.
PM Inggris itu menjelaskan jika tindakan yang diambil oleh negaranya bukan karena campur tangan permasalahan domestik, atau upaya penurunan rezim di Suriah.
Ini menegaskan bahwa tindakan itu didasari oleh upaya untuk mencegah jatuhnya korban sipil yang tidak berdosa.
"Pada saat ini, pikiran dan hati saya bersama para prajurit dan wanita-wanita Inggris yang pemberani. Begitu juga untuk mitra kami yaitu Prancis dan Amerika Serikat yang telah menjalankan tugasnya dengan begitu profesional," ungkap Theresa.
"Kecepatan kami bertindak sangatlah penting dalam upaya mengurangi penderitaan kemanusiaan yang terjadi di Suriah," tambahnya.
Ditegaskan oleh Theresa, pengambilan keputusan untuk mengerahkan angkata bersenjata Inggris di medan pertempuran bukanlah hal yang mudah.
"Ini bukan keputusan yang enteng," tegasnya.
"Kami tidak mengizinkan penggunaan sejata kimia di Suriah, di Inggris atau di belahan dunia lainnya," jelas Theresa May.
Bidik Pusat Penelitian Senjata Kimia dan Basis Militer Suriah
Koalisi militer Amerika Serikat, Prancis dan Inggris melancarkan serangan ke pangkalan militer dan pusat riset kimia di Suriah, Sabtu 14 April 2018 waktu setempat.
Serangan ini dilakukan atas respons AS terkait senjata kimia yang menewaskan puluhan orang di Douma, pekan lalu. AS menuding Presiden Suriah Bashar al-Assad bertanggung jawab atas serangan senjata kimia tersebut.
Dikutip dari laman CNBC.com, Menteri Petahanan Amerika Serikat, Jim Mattis dan Jenderal Marinir Joseph Dunford mengatakan, tiga lokasi fasilitas produksi senjata kimia menjadi target penyerangan.
Meski demikian, Pentagon belum mengonfirmasi berapa banyak rudal yang menghantam sasaran mereka. Mattis dan Joseph Dunford menyebut tiga lokasi yang menjadi sasaran serangan dimulai sejak pukul 04.00 pagi waktu setempat.
Sasaran pertama adalah Pusat Studi dan Riset Ilmiah Suriah -- badan pemerintah yang bertanggungjawab untuk penelitian dan pengembangan sistem persenjataan canggih.
"Target kedua adalah fasilitas penyimpanan senjata kimia di sebelah barat Homs. Kami menilai ini adalah lokasi utama produksi prekursor," ujar Dunford.
Sementara itu, sasaran terakhir adalah fasilitas penyimpanan senjata kimia serta pos komando militer Suriah.
Menurut Mattis, serangan ini dirancang hanya untuk memberikan pesan tegas kepada Suriah mengenai sikap AS yang menentang penggunaan senjata kimia.
"Bersama-sama kami telah mengirim pesan yang jelas kepada Assad dan letnan-letnannya untuk tidak melakukan serangan senjata kimia," jelas Mattis.
Serangan senjata kimia di daerah pemberontak di Douma, Ghouta Timur, itu merenggut 60 nyawa dan melukai sekitar 1.000 orang lainnya.
Advertisement