Studi: Kelak Robot Bisa Deteksi Kebohongan Manusia

Kelak di masa depan, teknologi robot yang didukung oleh kecerdasan buatan (AI), akan membuat manusia kesulitan menyembunyikan emosi.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 16 Apr 2018, 07:48 WIB
ilustrasi bohong (Sumber: iStockphoto)

Liputan6.com, Washington DC - Kepala ilmuwan Dolby Laboratories -- sebuah laboratorium riset kecerdasan buatan di Amerika Serikat (AS), Poppy Crum, mengatakan kelak di masa depan, manusia akan sulit menyembunyikan emosinya.

Sensor yang dikombinasikan dengan kecerdasan buatan dalam sebuah kreasi mesin robot, dapat mengungkapkan apakah seseorang berbohong, tergila-gila, atau akan melakukan kekerasan.  

"Ini bisa menjadi akhir dari kebiasaan manusia memalsukan emosinya di hadapan orang lain," kata Crum saat berbicara di ajang TED Conference.

Dikutip dari South China Morning Post, Senin (15/4/2018), rancangan mesin robot tersebut dapat menganalisis berbagai tanda gerak tubuh, yang kerap menjadi gambaran emosi seseorang.

Sebagai contoh, robot ini mampu mendeteksi dilatasi mata, yang menjadi tanda kelelahan pada manusia.

Rancangan mesin tersebut juga mampu mendeteksi pancaran panas dari sinyal-sinyal pada kulit, yang biasanya merupakan tanda seseorang dilanda kasmaran.

Menariknya lagi, jumlah karbon dioksida yang diembuskan manusia dapat dideteksi oleh robot, sebagai tanda bahwa tingkat kekesalan seseorang -- atau sebuah kelompok -- sedang meningkat.

"Ekspresi mikro dan zat kimia dalam napas mengungkapkan perasaan, namun diperlukan penelitian lebih lanjut khusus untuk hal ini," jelas Crum.

"Masih banyak kemungkinan untuk mendeteksi kondisi emosi seseorang dengan cepat, tanpa perlu harus mendalami ilmu psikologi lebih jauh," ia melanjutkan.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

 


Mampu Bekerja Menganalisis Gelombang Otak Manusia

Ilustrasi Robot (iStockPhoto)

Sementara itu, masih menurut Crum, rancangan mesin robot tersebut juga bekerja pada analisis gelombang otak.

Melalui bantuan kecerdasan buatan (AI), nantinya gelombang otak dapat dijadikan dasar penelitian mengenai bagaimana pola dan konteks pemikiran manusia tercipta.

"Bukan tidak mungkin juga jika teknologi ini mampu mendorong penciptaan sikap empati, atau memicu tendensi untuk berbuat jahat," kata Crum.

"Di satu sisi, teknologi ini benar-benar menakutkan, tapi jika dilakukan dengan pemantauan ketat dan bertanggung jawab, justru bisa memberi dampak yang sangat positif, seperti menjembatani kesenjangan emosional," ia menjelaskan.

Dia memberi contoh seorang konselor sekolah menengah, yang dapat mengatakan apakah seorang siswa yang tampak ceria mengalami kesulitan, atau polisi dengan cepat mengetahui apakah seseorang yang bertindak aneh, memiliki gangguan kondisi kesehatan pemicu tindak kriminal.

Dengan ruang baca emosi yang lebih luas, Crum berharap teknologi ini khususnya dapat dimanfaatkan sebaik mungkin dalam upaya menegakkan keamanan dan ketertiban.  

"Sebagai contoh, tes kebohongan yang dilakukan oleh pihak berwenang, masih mengadopsi metode puluhan lalu, yang sangat mungkin sudah jauh berkurang efektivitasnya di era modern," ujar Crum.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya