Liputan6.com, Jakarta - Neraca perdagangan Indonesia pada Maret ini diramal akan kembali mengalami defisit hingga US$ 200 juta. Jika terbukti, maka empat kali berturut-turut neraca perdagangan Indonesia tekor.
Ekonom dari PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede memproyeksikan kinerja ekspor akan terkontraksi sebesar 2,1 persen (year on year/yoy), sementara laju impor tumbuh 9,7 persen (yoy).
"Sehingga neraca perdagangan pada Maret ini diperkirakan defisit sekitar US$ 200 juta," kata Josua dalam ulasannya kepada Liputan6.com, Jakarta, Senin (16/4/2018).
Baca Juga
Advertisement
Dia menjelaskan, kinerja ekspor pada bulan ketiga ini diperkirakan melambat karena tren penurunan beberapa komoditas ekspor Indonesia selama Maret, seperti CPO (-2,1 persen MoM), batu bara (-5,4 persen MoM), dan karet alam (-2,2 persen MoM).
Josua menambahkan, volume ekspor diperkirakan cenderung menurun seiring penurunan aktivitas manufaktur dari mitra dagang utama Indonesia, antara lain Tiongkok, Jepang, India, Eropa, dan ASEAN.
"Penurunan aktivitas manufaktur sebagian besar mitra dagang ditunjukkan dengan penurunan pertumbuhan Baltic Dry Index," ujarnya.
Sementara di sisi impor, kata Josua, masih tumbuh solid meskipun laju impor menurun dari dua bulan sebelumnya sejalan dengan penurunan aktivitas manufaktur Indonesia. Namun masih akan didominasi oleh impor barang modal terkait dengan kegiatan investasi.
Dengan demikian, diproyeksikan Josua, secara kumulatif pada kuartal I ini, neraca perdagangan akan defisit sekitar US$ 1,1 miliar dibandingkan kuartal yang sama 2017 surplus US$ 4,1 miliar, dan kuartal IV-2017 surplus US$ 1 miliar.
"Melebarnya defisit perdagangan tersebut, maka defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) diperkirakan melebar di kisaran 2-2,5 persen terhadap PDB pada kuartal I tahun ini," Josua menjelaskan.
Selanjutnya
Dihubungi terpisah, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara memperkirakan neraca perdagangan akan mencetak defisit di Maret ini.
"Proyeksi neraca perdagangan Maret masih defisit di kisaran US$ 50-70 juta," ujarnya. Defisit tersebut, kata dia, cenderung mengecil karena faktor musiman ekspor periode Maret-April biasanya meningkat seiring normalisasi produksi di negara tujuan ekspor, seperti China, AS, India dan Eropa.
"Permintaan bahan baku dari Indonesia diharapkan membaik," ucap dia.
Meskipun kinerja ekspor diramal membaik, tapi dari sisi impor akan terjadi lonjakan khususnya impor minyak dan gas (migas). "Naiknya kebutuhan domestik terhadap bahan bakar minyak (BBM) dan tren kenaikan harga minyak dunia akan membuat impor migas melanjutkan tren kenaikan," tuturnya.
Selain itu, diakui Bhima, faktor pelemahan kurs rupiah pada Maret juga berkontribusi terhadap lonjakan nilai impor di hampir seluruh jenis barang, yakni impor bahan baku, impor barang modal, dan impor barang konsumsi.
"Soal impor bahan baku yang diperkirakan naik secara tahunan ada sisi positifnya karena ini menunjukkan permintaan industri dalam negeri semakin membaik seiring pemulihan konsumsi rumah tangga dan persiapan jelang Lebaran karena permintaan produk industri terutama makanan minuman akan tinggi," terangnya.
Advertisement
4 Kali Berturut-turut
Jika terbukti Indonesia mencetak defisit lagi di Maret ini, maka artinya terjadi defisit empat kali berturut-turut sejak Desember 2017.
Asal tahu, defisit neraca perdagangan Desember tahun lalu sebesar US$ 270 juta. Kemudian berlanjut di Januari 2018 sebesar US$ 680 juta, dan defisit lagi di Februari tercatat sebesar US$ 120 juta.
"Iya prediksinya empat bulan berturut turut terjadi defisit perdagangan," ucap Bhima.
Kondisi ini diakuinya, akan berdampak pada peningkatan permintaan terhadap dolar AS untuk kebutuhan impor, sehingga memicu pelemahan nilai tukar rupiah.
"CAD atau defisit transaksi berjalan semakin lebar. Tahun ini defisit transaksi berjalan bisa menyentuh 2,1-2,2 persen terhadap PDB. Batas aman maksimum 3 persen, artinya harus ekstra hati-hati," terang Bhima.
Menurutnya, tantangan Indonesia meningkatkan ekspor ke negara lain sangat besar. Mulai dari kenaikan harga minyak mentah dunia, peningkatan harga komoditas lain, dan ketegangan geopolitik, sampai ancaman perang dagang antara AS dan China yang akan berpengaruh terhadap ekspor nasional.
"Pertama, harga minyak mentah diperkirakan akan naik di atas US$ 80 per barel dalam waktu dekat dari posisi saat ini minyak jenis Brent di US$ 72,5 per barel. Kondisinya mengulang seperti konflik di Iraq-Iran pada 1973 dan konflik Timur Tengah di 2011," dia menjelaskan.
Selanjutnya, kata Bhima, harga minyak akan mendorong kenaikan harga CPO, batu bara dan ini menguntungkan posisi Indonesia sebagai eksportir komoditas. Tapi di sisi yang lain ketegangan geopolitik juga mempengaruhi permintaan negara-negara tujuan ekspor, baik secara langsung ke Timur Tengah maupun tidak langsung.
"Di saat yang bersamaan ada ancaman perang dagang AS dan China. Efeknya jika kinerja ekspor lebih rendah dari tahun lalu, maka defisit perdagangan akan berlanjut hingga paruh kedua 2018," tandasnya.