Liputan6.com, Beijing - Seorang buronan berhasil dilacak keberadaannya oleh polisi di China.
Ia tak sadar bahwa selama ini Negeri Tirai Bambu telah mengembangkan teknologi mutakhir untuk memindai wajah penduduk, sehingga pihak berwenang tak lagi kesulitan untuk mendeteksi riwayat hidup atau rekam jejak seseorang.
Advertisement
Buronan berinisial "Ao" itu diringkus oleh petugas kepolisian di Nanchang, China, saat hendak menonton bintang pop asal Hong Kong, Jacky Cheung.
Di antara 60.000 orang yang memadati tempat berlangsungnya pertunjukan, pria berumur 31 tahun itu dengan mudah dikenali oleh polisi.
Media lokal melaporkan, Ao dicari oleh polisi karena "kejahatan ekonomi" dan rincian mengenai dirinya telah dimasukkan ke dalam basis data nasional.
Ia ditangkap oleh dua personel polisi yang berjaga di tempat konser, saat ia tengah menikmati lagu-lagu yang disuguhkan si artis.
Kan Kan News melaporkan, CCTV yang dipasang di pintu masuk lokasi pertunjukan telah disematkan teknologi pengenalan wajah. Secara otomatis, mesin tersebut mengidentifikasi Ao, memberi laporan kepada otoritas, dan membawa mereka menuju lokasi yang tepat.
"Ia benar-benar terkejut ketika kami menangkapnya," kata Li Jin, seorang polisi di China, kepada kantor berita Xinhua.
"Ia masih belum bisa memahami bahwa polisi bisa begitu cepat mengenalinya di antara 60.000 orang," imbuh Li, seperti dikutip dari News.com.au, Senin (16/4/2018).
Li juga mengatakan kepada China Daily bahwa beberapa kamera di tempat penukaran tiket telah dilengkapi dengan teknologi serupa.
Kepada polisi, Ao mengaku rela menempuh jarak 90 km dari rumahnya, di Zhangshu, ke Nanchang bersama istrinya demi menonton konser Jacky.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Warga
Penangkapan Ao adalah contoh nyata dari semakin berkembangnya penggunaan teknologi pengenalan wajah di China, yang digunakan untuk melacak pergerakan 1,4 miliar warganya.
Di negara tersebut, polisi sudah dibekali dengan smartglasses, yaitu kacamata hitam dengan sistem pengenalan wajah. Penegak hukum dan pejabat keamanan berharap bisa memanfaatkan kecanggihan alat tersebut untuk melacak buronan dan memprediksi segala macam tindak kiriminal.
Dalam penangkapan lainnya pada Agustus tahun lalu, polisi di Provinsi Shandong menangkap 25 tersangka menggunakan sistem pengenalan wajah yang ditempatkan di lokasi berlangsungnya Qingdao International Beer Festival.
China kini merajai dunia di bidang teknologi dan memperingatkan warganya bahwa peralatan itu bisa jadi "momok" mereka, lantaran adanya pengawasan ketat oleh pihak berwenang. Negara ini telah membangun jaringan kamera pengawas terbesar di dunia.
Ada sekitar 170 juta kamera CCTV yang sudah terpasang di tempat umum dan akan ditambar sekitar 400 juta lagi dalam tiga tahun ke depan.
Basis data informasi warga China tercakup dalam akses bernama Police Cloud, yang berisi catatan kriminal dan medis, pemesanan tiket perjalanan, pembelian via online, hingga media sosial. Semua ini terhubung ke kartu identitas kependudukan.
"Tujuan utama proyek ini adalah melacak keberadaan orang-orang, apa yang mereka lakukan, apa yang mereka yakini dan dengan siapa mereka bergaul. Akhirnya akan sampai pada fungsi yang lebih mengerucut lagi, yakni kepercayaan pemerintah dan warga lainnya," pemerintah China menjelaskan melalui sebuah pernyataan resminya.
Selain itu, teknologi tersebut juga bisa menilai perilaku seseorang ketika berada di publik, seperti merokok di kereta api, parkir ilegal, membuat onar, dan sebagainya.
Advertisement
Dicap Sebagai Pengganggu Privasi Orang
Di satu sisi, LSM Human Rights Watch mengamati dengan saksama apa yang sedang terjadi di China, terkait dengan pengawasan massal semacam itu.
Maya Wang, peneliti senior HRW, mengatakan kepada Washington Post bahwa China mengumpulkan data tentang warganya dan menggunakan informasi yang mereka himpun untuk menargetkan etnis minoritas di provinsi China barat.
"Penggunaan data pribadi secara besar-besaran dengan cara begitu tidak hanya melanggar hak privasi, tetapi juga memungkinkan pejabat untuk menahan orang secara sewenang-wenang," ungkap Wang.