Liputan6.com, Jakarta - Neraca perdagangan Indonesia pada Maret 2018 berbalik arah dengan catatan surplus sebesar US$ 1,09 miliar. Padahal selama tiga bulan berturut-turut, terjadi defisit perdagangan pada periode Desember 2017, Januari dan Februari 2018.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suhariyanto atau yang akrab disapa Kecuk mengumumkan, nilai ekspor Indonesia pada bulan ketiga ini tercatat sebesar US$ 15,58 miliar, sementara impor lebih rendah sebesar US$ 14,49 miliar.
Baca Juga
Advertisement
"Terjadi surplus sebesar US$ 1,09 miliar di Maret sesudah defisit di Januari dan Februari," katanya saat Konpers Neraca Perdagangan di kantornya, Jakarta, Senin (16/4/2018).
Nilai ekspor Indonesia pada Maret sebesar US$ 14,58 miliar meningkat 10,24 persen dibanding Februari dan naik 6,14 persen daripada realisasi Maret 2017.
Sementara untuk sepanjang Januari-Maret, nilai ekspor sebesar US$ 44,27 miliar, sedangkan impornya sebesar US$ 43,98 miliar. Secara kumulatif, surplus US$ 0,28 miliar atau US$ 280 juta pada Januari-Maret 2018.
"Angka ini cukup menggembirakan dibanding posisi Januari-Februari 2018. Kita berharap, ke depan ekspor kita semakin bagus, makin banyak jenis produk yang diekspor dan makin terbuka negara non tradisional," jelas Kecuk.
Tiga Bulan Berturut-turut Defisit
Pencapaian neraca perdagangan di Maret ini mematahkan proyeksi sejumlah ekonom yang memperkirakan defisit lagi. Sehingga tidak terjadi defisit empat bulan beruntun.
Asal tahu, defisit neraca perdagangan Desember tahun lalu sebesar US$ 270 juta. Kemudian berlanjut di Januari 2018 sebesar US$ 680 juta, dan defisit lagi di Februari tercatat sebesar US$ 120 juta.
"Iya prediksinya empat bulan berturut turut terjadi defisit perdagangan," ucap Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara kepada Liputan6.com.
Jika kondisinya defisit lagi, diakui Bhima akan berdampak pada peningkatan permintaan terhadap dolar AS untuk kebutuhan impor, sehingga memicu pelemahan nilai tukar rupiah.
"CAD atau defisit transaksi berjalan semakin lebar. Tahun ini defisit transaksi berjalan bisa menyentuh 2,1-2,2 persen terhadap PDB. Batas aman maksimum 3 persen, artinya harus ekstra hati-hati," terang Bhima.
Menurutnya, tantangan Indonesia meningkatkan ekspor ke negara lain sangat besar. Mulai dari kenaikan harga minyak mentah dunia, peningkatan harga komoditas lain, dan ketegangan geopolitik, sampai ancaman perang dagang antara AS dan China yang akan berpengaruh terhadap ekspor nasional.
"Pertama, harga minyak mentah diperkirakan akan naik di atas US$ 80 per barel dalam waktu dekat dari posisi saat ini minyak jenis Brent di US$ 72,5 per barel. Kondisinya mengulang seperti konflik di Iraq-Iran pada 1973 dan konflik Timur Tengah di 2011," dia menjelaskan.
Selanjutnya, kata Bhima, harga minyak akan mendorong kenaikan harga CPO, batu bara dan ini menguntungkan posisi Indonesia sebagai eksportir komoditas. Tapi di sisi yang lain ketegangan geopolitik juga mempengaruhi permintaan negara-negara tujuan ekspor, baik secara langsung ke Timur Tengah maupun tidak langsung.
"Di saat yang bersamaan ada ancaman perang dagang AS dan China. Efeknya jika kinerja ekspor lebih rendah dari tahun lalu, maka defisit perdagangan akan berlanjut hingga paruh kedua 2018," tandasnya.
Advertisement